Chapter I - Sebuah Surat Penyesalan

470 26 3
                                    



2016

Aku selalu iri pada orang yang tenggelam dalam rutinitas impian, dikelilingi keluarga yang sehangat mentari dan bersanding dengan pujaan hati. Dadaku sesak karena perasaan jahat itu, rasanya makin perih tatkala atmosfer di sekitar penuh dengan balon-balon pertanyaan yang menyiratkan sindiran dan ledekan seperti, "Kapan menikah?", "Kau tidak tertarik lagi jadi komikus?", atau... "Apa kau punya kekasih?"

Sewaktu berusia dua puluhan, aku bisa dengan mudah mengatakan, "Jodoh pasti bertemu, santai saja. Aku pun belum matang secara finansial, mental, atau usia." atau "Orang yang kusukai akan datang menjemput, aku tengah memperbaiki diri." sampai... "Jalan menjadi komikus itu tidak gampang, aku masih mengusahakannya selagi muda."

Dan ketika bayangan itu menguap, menyeret kesadaran ke masa sekarang, aku menghela napas. Jawaban dari semua hiruk-pikuk kepo orang-orang soal kelajangan atau cita-cita lamaku hanyalah senyuman ditemani desis lirih, "Doakan saja."

Hidup tidak berjalan dengan rencana indah, untuk kasusku.

"Zi, ERD sudah selesai? Bos mengomel karena sampai detik ini kamu belum menghadap." Salah seorang anggota divisi IT menyita perhatianku. Dalam hitungan detik, napas berat terhempas dari dua lubang hidung. Aku mengambil beberapa lembar kertas, tabel-tabel yang menjalin hubungan tercetak jelas di sana, seminggu lebih aku mengerjakannya dengan berkali-kali revisi agar Bos tidak marah-marah lagi padaku. Bos orang yang menyebalkan, selalu main perintah dan mudah terpancing emosi. Satu hal lagi, dia selalu tak puas dengan hasil kerja bawahannya.

Sraaak!

Hasil pemikiranku terburai, menjadi serpihan remeh di lantai berkarpet merah. Seperti yang kuduga, rancangan basis data yang kuajukan masih salah di mata kecil tersebut. Pria perut besar itu melayangkan tatapan bengis, seolah seekor serigala lapar bertemu kerudung merah. "Kau menyebut itu ERD?! Sudah berapa lama kau kerja di sini? Sudah berapa proyek yang kau ikuti? Masih saja tak becus! Keluar sana! Angkat kaki dan jangan kembali lagi!"

Spontan alisku menaik, mata membeliak drastis. Dan bos masih berkoar-koar, "Sudah lama aku mengevaluasi dan ingin memecatmu tapi... karena kau adalah anak yang rajin –meski pekerjaanmu kacau balau- aku menahan diri. Tapi, ini sudah keterlaluan! Rancanganmu tak becus! Sana! Nikah dan pulang kampung saja! Masih banyak orang yang lebih baik darimu, kau tidak cocok di sini."

Rasanya hatiku disayat dengan ribuan silet. Bos memalingkan wajah, tak peduli pada diriku yang berlutut meminta belas kasihan. Aku sudah mengabdi pada perusahaan semenjak lulus kuliah, aku mendedikasikan diri untuk bekerja sebaik mungkin meski hasilnya bukan yang terbaik di mata bos. Aku merasa ketidakadilan. Aku mencintai perusahaan tapi... perusahaan dengan mudahnya mencari penggantiku, tidak memikirkan kehidupanku jika pekerjaan ini terlepas.

"Bos, saya akan perbaiki, saya akan lembur." Suaraku mencicit, tubuh dan kepalaku sudah menyentuh karpet, posisi hina yang seharusnya dipersembahkan pada Tuhan kini terpaksa kutunjukkan pada orang yang memegang kunci karirku. "Keputusanku tidak bisa diganggu gugat. Gaji dan pesangonmu akan ditransfer segera. Sekarang, keluarlah dan bereskan semua jejakmu. Jangan buat aku melampiaskan amarah lebih banyak lagi."

Aku merasa bulir air mata mulai luluh di hadapan gravitasi. Pelan-pelan aku menyeret diri ke luar ruangan. Beberapa orang mulai berbisik dan bertanya-tanya, "Apa Zia lagi-lagi kena omel?". Ya, situasi aku yang keluar dari ruangan bos dengan air mata bukan hanya sekali ini terjadi, sudah terlalu sering bahkan setiap kali bertemu bos. Rasanya, yang kukerjakan tak pernah sempurna atau menyentuh ekspetasi. Mungkin, aku tidak seharusnya di sini.

Dear, Me [Teruntuk, Diriku di Masa Lalu]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang