5. Lebih Dekat Denganmu

Mulai dari awal
                                    

"Elo ada keperluan apa sih, Kay?" tanya Ervan di tengah-tengah perjalanan kami melalui jalanan naik-turun menuju Dago Pakar.

"Ada urusan."

Ervan mendengus keras. "Itu sih abang juga tahu, cantik," sindirnya halus seraya tersenyum menyebalkan.

Aku tersenyum malu-malu memandang Ervan. "Gue diundang acara pembukaan galeri lukisan gebetan gue," aku menjawab dengan entengnya.

"Hah? sejak kapan lo demen sama seniman gitu? Sakit lo, ya?"

"Loh, memang kenapa?" protesku.

Ervan hanya geleng-geleng kepala. "Perasaan kita baru enam bulan nggak ketemu, gue yang kudet atau memang lo yang dapat hidayah sampai selera  lo melenceng jauh begitu?"

"Melenceng jauh gimana?"

"Come on, Kay. Mantan lo itu pilot, pembalap, model, pengacara. Nggak ada sejarahnya lo tertarik sama seniman-seniman brekele gitu. Kesambet apaan, lo?" tuduh Ervan tak tanggung-tanggung.

Aku hanya menarik napas panjang dan balas menggeleng. "Kaia yang dulu, bukan Kaia yang sekarang, Van. Nanti pasti ada saatnya lo tahu, tapi sekarang... elo boleh berhenti di depan kedai kopi yang ramai itu," ujarku sedramatis mungkin seraya menunjuk kedai kopi milik Rezka.

"Dan fyi, gebetan gue itu nggak termasuk dalam katagori 'brekele' yang lo maksud," tambahku sambil lalu.

Ervan mematuhi arahanku, namun tampak belum puas dengan perkataanku barusan. Walaupun demikian, ia tidak berusaha mengorek lebih dalam mengenai perubahan selera teman kencanku yang dirasanya berubah drastis.

Ketika aku turun dari mobilnya, ia hanya berpesan singkat padaku,

"Bae-bae lo! Awas terjerumus aliran sesat!"

Dan aku hanya tertawa sesaat mendengar wejangan lelaki itu lalu beranjak masuk ke dalam kedai kopi.

Seorang barista menyapaku hangat. Barista yang paling sering kujumpai.

"Eh, temannya Pak Bos Rezka, ya?" sapa barista gempal dengan perawakan seperti Yosi yang hingga saat ini masih belum kuketahui namanya. "Langsung naik ke atas aja, Teh. Acaranya baru aja mulai. Tadi Kang Rezka teh sempat bolak-balik ke luar kedai, kayak lagi nungguin orang. Mungkin si Akang lagi nungguin Teteh."

Aku tersenyum malu-malu mendengar sapaan hangat sang barista. Tak lupa kuucapkan terima kasih kepada anak buah Rezka tersebut kemudian perlahan kunaiki satu per satu anak tangga berlapis kayu menuju galeri lukisan Rezka.

Saat di luar tadi, aku sempat melihat sebuah spanduk bertuliskan acara pembukaan galeri lukisan Rezka, lalu sekarang, kudengar suara tawa, obrolan, alunan musik smooth jazz, serta dentingan gelas beradu dari lantai atas. Sesampainya aku di sana, yang kulakukan hanya mengerjap beberapa kali.

Selama hampir sepuluh menit aku berdiri mematung di anak tangga teratas sebelum melangkah masuk ke dalam acara pembukaan galeri lukisan Rezka. Seingatku, terkahir kali aku datang ke tempat ini, ruangan di lantai ini tidak seluas sekarang. Begitu pula dengan interiornya yang disulap sedemikian rupa dengan tema kontemporer hitam dan putih. Tidak ada lagi lukisan setengah jadi ataupun sketsa yang bertebaran di lantai. Semuanya sudah diubah menjadi lukisan utuh yang luar biasa indahnya.

Aku menggenggam erat buket bunga mawar biru di tanganku dan kembali melangkah. Tidak ada lagi peringatan untuk melepas alas kaki. Semua yang datang tampak rapi dan berdandan sedikit nyentrik. Sepertinya mayoritas tamu yang datang merupakan kalangan seniman seperti Rezka, dilihat dari penampilan dan cara mereka membahas karya seni lelaki itu. Sementara aku hanya bisa menganggut-anggut dari satu lukisan ke lukisan lainnya.

The Bridesmaids Tale #2: Portrait of a LadyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang