PROLOG

19.7K 785 10
                                        

PROLOG

"Apa ada seseorang yang harus kuhubungi untuk menemanimu?" tanya perawat―yang sebelumnya memperkenalkan dirinya bernama Carla―padaku. Mungkin dia heran karena tidak ada satu pun orang yang menemaniku di sini mengingat sudah berjam-jam lamanya aku berbaring di tempat ini.

"Umm, tidak, terima kasih. Aku sudah menelepon ayahku tadi. Dia akan sampai di sini dalam beberapa jam," ucapku tersendat, menahan rasa sakit karena kontraksi yang semakin lama semakin sering kurasakan.

Sesaat, Carla menatapku dengan sedih, tapi kemudian dengan cepat dia menormalkan kembali suasana hatinya. Setelah itu, dia kembali memeriksaku.

Beberapa menit kemudian, dr. Steward, dokter yang menangani persalinan pertamaku ini memasuki ruangan. Dia berhenti di sampingku sambil memeriksa catatan yang sejak tadi di pegang oleh Carla.

"Bagaimana keadaanmu saat ini, Barbara? Kuharap kau siap untuk menyambut kedatangan bayi kecilmu," dia tersenyum ramah padaku. "Kau sudah mengerti cara mengejan yang benar, kan?" aku mengangguk samar, tidak tahan dengan rasa sakit di perutku dan entah mengapa rasanya ingin sekali mengejan saat ini juga. "Baiklah, kalau begitu kau bisa menunduk dan buka lebar-lebar kedua kakimu," dr. Steward mengarahkan.

Dia berjalan, menyerahkan kembali catatan pada Carla dan berdiri tepat di depan jalan lahirku. "Apa kau merasakan kencang-kencang? Kalau begitu, ayo, mengejan!" peritahnya.

Mengambil napas dalam- dalam, aku melakukan apa yang dia perintahkan, mencoba menyembunyikan fakta bahwa aku―sedikit―panik saat ini.

Aku akan melahirkan seorang bayi. Aku akan memiliki seorang bayi. What the fuck was I going to do with a baby? Dan aku sendirian, sialan. Tidak ada orang lain di sini yang menemaniku. Tidak ada seorang suami dengan wajah khawatir bercampur frustasi yang sering kutonton di film-film atau yang sering kubaca di novel. Tidak ada yang memegang tanganku. Tidak ada seseorang yang menatapku penuh kasih dan membisikkan kata-kata penyemangat di telingaku. Tidak ada seorang pun.

Aku bahkan tidak menyiapkan baby shower atau hal-hal besar lainnya yang sering orang tua lakukan untuk menyambut anggota baru mereka. Yang kubutuhkan hanyalah tempat tidur, baby car seat, pakaian, dan hal-hal utama yang wajib dimiliki oleh setiap bayi. Aku tidak mengharapkan siapa pun untuk memberikan hadiah pada bayiku. Lagi pula, aku yakin tidak akan ada yang repot-repot untuk membelikannya, karena satu-satunya teman yang kupunya di sini hanyalah Riley. Tapi dia hanyalah seorang pria berusia 19 tahun yang buta tentang masalah bayi.

Tidak seperti Riley, kebanyakan anak-anak di kelasku menatapku dengan simpati. Mereka tidak ingin berteman dengan orang yang mempunyai bayi dengan status yang tidak jelas, sepertiku. Tapi, aku tidak peduli. Lagi pula siapa juga yang membutuhkan mereka.

Entah sudah berapa menit aku mencoba untuk mendorongnya keluar, sampai suara tangis memekakkan telinga membanjiri seluruh ruangan yang kuhuni saat ini.

"It's a boy!" Carla tersenyum padaku.

"Laki-laki?" tanyaku lemah.

Carla mengangguk, menempatkan bayi itu di dadaku. Yang bisa kulakukan hanyalah menatapnya dengan takjub. Kulitnya kemerahan dan keriput. Tapi dia benar-benar makhluk paling indah yang pernah kulihat. Dan rasa sakit yang sebelumnya kualami sirna seketika saat dia berada di dekapanku.

Sekitar satu jam kemudian, ayahku datang dengan sebuket mawar kuning di tangannya.

"Oh Tuhan, Babs, aku minta maaf. Aku mencoba datang ke sini secepat mingkin tapi―"

"Shhh, tidak apa, Dad," aku mencoba untuk mengurangi kepanikannya.

Bahu ayahku melemas, dan senyum cerah tercetak di bibirnya saat dia menatap makhluk kecil yang menggeliat di pelukanku dengan selimut berwarna biru yang membungkus tubuh mungilnya. Ayah mendekat diam-diam.

"Laki-laki," ucapku memberi tahu.

"Oh, Babs, dia sangat tampan," desah ayahku.

"Aku tahu. He's like a little angel."

"Apa... semua berjalan dengan baik?" tanyanya ragu-ragu.

Aku tersenyum lembut. "Semuanya baik-baik saja, Dad. Dia sempurna."

Ayahku bernapas lega. "Siapa namanya?"

"Allen Johnson Young."

"Johnson?"

Sesaat, dia memandangku tak pecaya. Tapi kemudian dia mengambil salah satu tangan kecil Al dan aku bisa melihat air mata menetes di pipinya.

"Dia juga punya hak di sini, Dad. Dan bayiku akan lebih sempurna dengan nama itu."

●●●

THE UNEXPECTEDWhere stories live. Discover now