Akhir Sebelum Awal

272 22 7
                                    

Aku, dia. Duduk dalam satu meja. Tak ada suara, tak ada kata. Diam namun tak sunyi. Sayup-sayup terdengar lagu yang paling kubenci sejak tujuh tahun lalu. Menelusup, mengiris perih dalam dada.

Dia, laki-laki di hadapanku ini, memandang cangkir putih berhiaskan uap di depan matanya. Air mukanya jelas menyiratkan kekalutan dalam diri. Seakan ada perang besar yang tengah terjadi jauh di dalam sana.

"Berapa lama tepatnya kita tidak bertemu? Rasanya seperti puluhan tahun." Bohong. Aku bahkan mengingat dengan rinci kapan terakhir kali kulihat wajahnya. Alis mata yang berbaris rapih, kulit wajahnya yang seperti bayi, hidung mancung, dan bibir tebal. Aih, sungguh dia makhluk terindah ciptaan-Nya. Tak ada yang berubah. Oh, hanya garis rahangnya yang terlihat lebih keras dihiasi dengan rambut-rambut halus.

Satu tarikan senyum yang terlihat begitu samar. Dia begitu kikuk, bahkan tak berani menatapku langsung.

Lagu itu masih terdengar mencemari pendengaran ku. Mengejekku yang terikat hati dengan yang tak semestinya. Kepada dia yang kini bagai pengecut. Atau dia memang pengecut. Iya.

Maaf aku kini menyerah. Pada hati yang tak lagi mencinta. Lelah kaki menapak sendiri. Karena cinta telah berpaling.

"Aku ... mencintaimu, El."

Lama kami bergelimang bisu. Dia lebih berani saat ini, menatap lingkaran karamelku. Aku bisa melihat irisnya yang kelabu, yang paling kusukai dari wajahnya. Ingin rasanya kuraup wajahnya dengan kedua telapak tanganku lalu menyatukan apa yang seharusnya di satukan.

Aku mendesah berat. Bibirku tersenyum namun tidak hati dan perasaanku. Pelupuk mataku banjir, dan akhirnya menumpahkan air bening itu.

"Maaf karena butuh waktu selama ini agar aku menyadari yang sebenarnya kurasakan. Maaf karena baru kali ini aku berani berujar yang seharusnya kau dengarkan sejak dahulu. Maaf."

Kuhapuskan lahar dingin yang mengaliri pipiku dengan punggung tangan. Kutelan dalam-dalam isakan yang nyaris meluap. Lalu kupindai sekali lagi wajah yang begitu kurindukan. Masih sama dengan tujuh tahun lalu. Tahi lalat yang ada di ujung alis sebelah kirinya, garis senyum yang terukir di sisi bibirnya, juga belahan pada bibir bawahnya. Dia masih orang yang sama, dia masih cintaku yang dahulu. Tapi kenapa ...

"Aku kembali untuk membawamu bersamaku. Akan ku jadikan kau wanita terbahagia. Bersama, kita rangkai cerita terindah mengalahkan segala cerita roman picisan."

Tuhan menciptakan dua mata, dua telinga, dua kaki, dan dua tangan. Tapi mengapa hanya mencipta satu hati, yang bahkan tak menjadi hakku lagi?

Perlahan rasa hangat membungkus tanganku. Digenggamnya begitu erat hingga rasa nyeri menyapa permukaan kulit tanganku. Dia memaksaku menatap wajahnya yang kurindukan mati-matian. Namun aku hanya bisa menatap cangkir setengah kosong berisi ochalatte di atas meja.

"El ...."

Kutarik tanganku dari lingkup penuh kenyamanan dan keamanan yang akan sangat kurindukan selama sisa hidupku. Debaran jantungku melaju dua kali lebih cepat. Bulir-bulir keringat mulai mengembuni dahiku. Aku takut.

Entah bagaimana waktu terbang begitu cepatnya. Masih jelas dalam ingatanku dia yang selalu menghiasi hari remajaku dengan kekacauan, rasa kesal hingga ke ubun-ubun, bahkan amarah yang meluap-luap setiap harinya.

Kami dekat, sangat dekat. Lebih dekat dari jari telunjuk dan jari tengah. Bahkan lebih dekat dari bibir atas dan bawah. Tapi Tuhan mengajarkan kedekatan dalam perspektif lain. Bukan dengan rona malu, melainkan merah padam menghela kesal. Bukan debaran malu-malu, melainkan degupan penuh emosi. Bukan pula keringat dingin karena salah tingkah, tetapi peluh membanjiri tubuh yang lelah saling berkejaran.

Kami berbeda namun seharusnya bisa bersama.

Kurogoh saku tas yang terbuka di atas pangkuanku. Dadaku berdentum keras, mencipta sesak menghabiskan ruang untuk menarik nafas. Suara gemerisik makin menambah sesak di dada.

Aku akan menyakitimu.

Kuangsurkan sebuah amplop. Amplop hitam berbalut plastik bening. Tertera besar-besar namaku dan seorang lelaki. Tanganku gemetar, berselimut peluh.

Seharusnya namamu yang bersanding dengan namaku.

"Harusnya kau mengatakan semua itu tujuh tahun lalu. Harusnya kau lebih memberanikan diri." Kembali satu titik bening penanda duka dan luka mengaliri kulit pipiku.

"Tapi ... ku kira kau ..."

"Juga mencintaimu? Bohong jika aku mengatakan tidak. Tapi tahukah kau? Aku lebih memilih dia yang berani dengan lugas menyuarakan kata hatinya. Yang mengizinkanku menyelami perasaannya." Mereduplah sudah sinar jenaka yang meluluhkan ku dari mata teduhnya. Kini tersisa luka dan penyesalan.

Tapi untuk apa?

"Mungkin akan terdengar jahat. Tapi seandainya. Seandainya kau lebih cepat. Seandainya kau tidak meninggalkanku sendiri karena tak ingin mendengarkan. Seandainya kau bisa lebih bersabar. Seandainya kau memberi kesempatan pikiranmu untuk berdiskusi dengan hati kecilmu. Mungkin namamu yang akan kupakai sebagai akhir namaku."

Aku berdiri dari singgasana kecil yang setia sejak dua jam lalu. Menemaniku menatap hingga puas kepingan masalalu untuk terakhir kalinya. Mengukir kenangan pahit maung yang akan tertinggal hingga akhir masaku.

"Berhenti menjadi pengecut. Kau kehilangan diriku karena ketakutan tak beralasanmu. Aku kehilangan dirimu karena kekecutan hatimu. Andai bisa sedikit saja bibirmu terbuka, kini seutuhnya aku milikmu." Aku berlalu meninggalkan dia yang kucinta hingga Palung terdalam hatiku. Namun kemunafikan meniadakan 'kita' diantara aku dan dia. Lirih lagu penabur gusar itu mengalun dalam kepalaku. Mengingatkan aku akan dia yang kucinta namun tak mampu kumiliki.

Indah terasa indah kala hujan meniti wajahmu penuh senyum. Cinta memang cinta bila tawa menelusup dalam relung hatiku. Membawa dingin musim salju yang tak pernah terjadi.
Waktu punya maunya sendiri. Tiada kuasa ku menahannya. Membawamu jauh dari hatiku. Menyisipkan rasa baru yang kurindu.
Kini hujan membawamu kembali. Dengan aroma cinta yang semakin kuat. Kau berteriak cinta padaku. Namun kini aku tak sendiri.

Kata Terpahit: Seandainya ....حيث تعيش القصص. اكتشف الآن