Why Didn't You Come?

Comenzar desde el principio
                                    

Kyra mendesah. Pekerjaan Arland pasti sudah semakin menumpuk, sekarang. Sejak naik jabatan menjadi direktur. Kalau dulu dia tidak ngotot pergi, mungkin sekarang dia sudah mendampingi Arland, menjadi ibu direktur yang selalu mendukung pekerjaan suami.

Tapi waktu itu dia sama sekali belum siap menikah. Menurutnya, Arland juga belum siap menikah. Arland bahkan baru lulus magister dan baru juga bekerja di Ardiara. Ternyata Arland tetap ngotot melamar, dan berakhir dengan penolakan darinya, sebelum akhirnya Kyra pindah ke Melbourne.

"Pasti sibuk banget ya, Land?"

Arland mengangguk malas. "Biasalah. Direktur mau di mana-mana ya gitu. Sibuk. Kadang stres karena kerjaan. Tapi gimanapun, enaknya bisa punya kendali lebih."

Kyra melayangkan kembali ingatannya ke beberapa tahun lalu. Saat mereka makan malam bersama nenek Kassandra dan orangtua Arland. Sempat tercetus rencana nenek Kassandra untuk meminta Arland menikah, jika memang ingin mencapai posisi direktur. Rupanya papa Arland juga punya pemikiran yang sama. Jabatan direktur hanya akan diberikan jika Arland sudah menikah.

Sebenarnya, Arland tidak menikah pun, jabatan itu akan jatuh ke tangannya. Hanya saja, menjadi tidak nyaman bagi keluarga mereka, jika Arland menghadiri acara ke mana-mana hanya menggandeng perempuan berstatus pacar. Nilai sosialnya akan jauh lebih tinggi jika Arland didampingi seorang isteri di berbagai undangan keluarga dan relasi bisnis mereka.

Andai jika saat itu dia mengiyakan, dan siap menjadi isteri Arland. Dia tidak akan ada di sana, duduk bersama Arland, dengan kapasitas hanya sebagai sahabat. Mengaku cinta saat kesempatan sudah tertutup untuknya. Memberikan posisinya kepada Seanna, yang sampai saat ini belum bisa diikhlaskan.

"Kalau aja dulu aku nggak ngotot pergi, mungkin sekarang kita sudah nikah," gumam lirih suara Kyra.

"Itu artinya kita nggak jodoh."

"Trus, menurut kamu, Seanna yang jadi jodoh kamu?"

Arland menahan gerakan kepalanya membentuk sebuah anggukan. "Definisi jodoh itu adalah siapapun yang kita nikahi, Ra. Orang yang berbagi kehidupan dengan kita setiap hari. Orang yang membuat kita percaya bahwa cinta itu memang ada."

"Bukannya jodoh itu, orang yang akan bersama kita seumur hidup?"

"Itu definisi lainnya. Tapi menurutku jodoh ya itu. Isteri atau suami."

"Oh, jadi kalo misalnya cerai, atau putus?"

"Berarti sudah bukan jodoh kita lagi. Berarti Tuhan menakdirkan kita mencari jodoh lainnya lagi. Sesederhana itu, Ra. Sesederhana itu aku memandang soal jodoh."

"Jadi, Seanna itu sudah pasti jodoh kamu?"

"Untuk saat ini." Arland menghela napas, teringat Seanna yang ditinggalkannya begitu saja, dan memilih kabur ke Lembang.

"Berarti bisa jadi nanti nggak?"

Arland tidak mau menjawab. Cukup hatinya saja yang mengetahuinya.

"Daripada kamu sibuk interogasi terus, mending kamu ke dapur, bantuin tante Indah masak. Jangan jadi ratu. Tinggal nunggu makannya doang."

"Ah, nggak asyik! Selalu mengalihkan pembicaraan!"

Arland menerima saja cibiran dari Kyra. Tapi Kyra tetap menuruti perintahnya tadi untuk membantu tante Indah di dapur.

***

"Non, mau saya aja yang siangi aja sayurnya?"

Surti, sang asisten rumahtangga yang selalu rajin dan penuh senyum, menghampiri Seanna yang tengah duduk di meja pantry, menyiangi kangkung untuk dibuat cah kangkung saus tiram. Sejak setengah jam lalu, Seanna terus melamun. Tanpa semangat. Alhasil, seikat kangkung yang diambilnya dari kulkas, masih beberapa ikat yang selesai dibersihkan.

"Iya, Ti?" Seanna mencoba fokus kembali, tapi memang lamunannya tadi membuatnya tidak bisa mendengar apa yang dikatakan Surti.

"Saya aja yang siangi sayurnya, Non." Surti tadinya menyiapkan bumbu-bumbu seperti bawang merah, bawang putih, bawang bombay, dan beberapa bumbu pelengkap untuk masakan cah kangkung, bacem tahu telur, dan terong balado. Tapi karena pekerjaannya sudah selesai, dan Surti memang seolah takut tidak kebagian pekerjaan, maka dia menawarkan diri mengerjakan sayur kangkung yang menjadi tugas Seanna.

"Biar saya aja. Surti halusin aja dulu bumbu untuk balado."

"Sudah, Non. Tuh." Surti menunjuk blender yang terisi bumbu kemerahan di dalamnya.

"Untuk bacem tahu telur?"

Surti menunjukkan lagi panci berisi tahu dan telur beserta bumbu yang siap direbus bersamaan.

"Udah juga, Non." Surti kembali memperlihatkan hasil kerjanya yang lain. "Bakso ikan, udang, terung, udah disiapin semua. Nasinya juga udah mau dikukus, Non."

Seanna terhenyak. Sudah berapa lama dia melamun?

"Ng...udah beres semuanya ya? Wah aku ngapain aja dari tadi?" Seanna tertawa kecil. Merutuki keasyikan melamun.

"Melamun, Non."

Yah, Surti. Nggak usah dijawab juga, kali.

"Maaf ya, Ti. Aku bukannya bantuin masak, malah tinggal duduk-duduk aja." Seanna mencoba memperhalus kata melamun berganti menjadi duduk-duduk.

Namun, Surti juga sudah melihat sendiri. Dia bisa berkelit bagaimana lagi?

"Non, jadi Den Arland jadi balik ke Jakarta jam berapa?" tanya Surti sambil mengambil pisau lain di rak kitchen set. "Soalnya biar saya jaga-jaga bukain pagarnya. Biar Den Arland nggak kelamaan nunggu."

Aku juga nggak tahu, Surti. Aku nggak tahu kapan Arland pulang. Atau mungkin nggak akan pulang.

"Mm, tunggu dikabari aja." Seanna tersenyum, kali ini pahit.

Dia tidak akan menghubungi Arland lagi jika resiko seperti ketika Kyra membentak dan memutuskan telepon terulang lagi.

***

Arland sudah selesai mandi. Sambil menggosok rambutnya yang basah dengan handuk, Arland mengambil ponsel. Dia harus mengabari Seanna tentang keinginannya menginap malam itu di Lembang.

Gerakan tangannya terhenti di udara. Nyaris dia memencet nomer Seanna, dengan maksud untuk menelepon. Tapi urung. Maka hanya sebuah SMS singkat yang kembali dikirimkan.

Aku nginap. Pulang besok pagi

Send.

"Laaand."

Suara Kyra diikuti ketukan pintu terdengar setelah dia meletakkan handuk di gantungan mini di dekat pintu kamar mandi.

"Iya, Ra."

"Yuuk makan."

Tanpa bisa menolak, Kyra sudah menggandeng tangannya.

Meskipun saat itu yang tampak secara visual di matanya adalah Kyra, namun sesungguhnya yang diam secara maya di benaknya adalah Seanna.

***

Aku nginap. Pulang besok pagi.

Seharusnya Seanna sudah memprediksi.

Seharusnya dia tidak perlu menunggu.

"Non? Gimana?"

Seanna menarik napas panjang, sepanjang-panjangnya walau yang terasa kini bukan kelegaan, namun sesak luar biasa.

Dia dan Surti sudah selesai menyiapkan semua hidangan makan malam, lengkap. Bahkan dengan buah-buahan yang sudah dipotong-potong dan puding jelly untuk dessert.

"Arland nginap, Ti."

Surti langsung memandangi satu persatu hidangan di atas meja makan dengan sedih.

"Yaaah...jadi ini gimana, Non?"

"Kita makan aja." Seanna menahan airmatanya sebelum mengalir. "Bantu abisin ya, Ti?"


_________________________________________________________________________

Marriage With Benefits (Terbit Namina Books)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora