Why Didn't You Come?

67.5K 4.7K 147
                                    

Sebelumnya, aku mohon maaf kalo chapter yang ini lebih pendek dari yang sebelumnya. Lagi banyak pikiran :D 

Semoga chapter depan bisa lebih banyak nulisnya.

Happy Reading :)


________________________________________________________________________

Why Didn't You Come?


Setelah mematikan ponsel milik Arland, berikut menghapus panggilan masuk dari Seanna, Kyra buru-buru meletakkan kembali ponsel Arland kembali ke atas meja. Tadinya, Arland masuk ke dalam rumah tapi meninggalkan ponselnya begitu saja. Boleh jadi dia lupa atau sengaja. Sekarang ketika Arland kembali, urusannya dengan ponsel itu sudah beres. Bersih, tanpa jejak.

"Ponsel kamu ketinggalan," Kyra menuding ponsel Arland yang masih tergeletak di atas meja.

"Pantes, cariin di mana, ternyata di sini." Belum juga duduk, Arland sudah menyambar ponselnya. "Tadi, ada telepon nggak?"

Kyra tentu saja sudah menyiapkan jawaban. "Nggak."

Karena tipe manusia seperti Arland ini yang tidak pernah afdol memastikan sendiri, lantas menggeser jempolnya untuk mengecek daftar panggilan.

"Lagi nunggu telepon ya, Land?" tanya Kyra saat dilihatnya wajah Arland terpaku diam, sambil terus menscroll daftar panggilan di ponselnya.

"Nggak." Arland memilih menyudahi scroll yang dirasanya tidak berguna.

Di tengah kesal atau segera dinamainya saja rasa cemburu kepada Seanna, dia memang masih berharap ada secuil saja inisiatif dari Seanna menjawab SMS-nya. Karena menurutnya, untuk menelepon, Seanna masih terlalu canggung. Tapi kenapa tadi dia bukannya mengecek inbox, malah langsung mengecek daftar panggilan?

Arland kembali mengambil ponselnya, dan membuka deretan inbox. SMS terakhir dari Farras tertera tiga jam lalu. Itupun memang sudah dibacanya saat dalam perjalanan ke Lembang. Farras berdomisili di Bandung menanyakan apakah dia ada waktu untuk berkumpul di Bandung hari Sabtu nanti. Fathir saudara kembar Farras baru pulang dari Bali, dan mengajak para sahabatnya berkumpul membuat acara Barbeque.

Saat itu, Arland belum memberi jawaban pasti. Bagaimana bisa dia memastikan akan datang jika hubungannya dengan Seanna renggang seperti sekarang. Fathir sudah memberi warning, untuk mengajak isteri. Arland bisa diceng-in habis-habisan jika dia muncul seorang diri. Sementara untuk mengajak Seanna, dia juga masih belum kepikiran.

"Kamu yakin, tadi nggak ada telepon masuk?" Akhirnya, Arland tidak tahan mengeluarkan pertanyaan itu.

"Ya nggaklah, Land. Kamu udah cek sendiri kan? Nggak ada." Kyra sedari tadi enggan menatap Arland, khawatir bakal ketahuan dengan aksi nekatnya mengangkat telepon Seanna, menutupnya dengan kasar, sekaligus langsung menghapus nomer Seanna di daftar panggilan masuk.

"Ya udah. Jawabnya santai aja, nggak pake urat." Arland yang merasa cara Kyra menjawab seperti sosok tertuduh, langsung menegur.

"Abis, kamu juga, nanyain lagi. Emang nunggu telepon dari siapa sih? Dari Seanna?" Tudingan Kyra tersebut memang benar adanya. Jika dalam kondisi batin seperti kemarin-kemarin, dia akan langsung mengiyakan. Tapi berhubung sekarang dia masih kesal, jadi dia punya jawaban berbeda.

"Nunggu telepon dari seseorang yang nggak bakal nelepon, itu sama saja pekerjaan sia-sia."

"Nunggu telepon dari relasi bisnis?"

Arland teringat ponsel yang satunya lagi. "Ponsel khusus kerjaan ada di kamar. Lagian aku udah ngasih tau Dian, untuk nggak menghubungi soal kerjaan sampai besok pagi. Kalau ada telepon dari relasi, bakal aku balas ntar malam."

Marriage With Benefits (Terbit Namina Books)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang