Chapter 3

1.4K 111 0
                                    

Ladang ilalang terhampar sangat luas di depan sana. Mereka meliuk secara serempak ketika angin malam meniup mereka semua. Tiupan angin malam membuat sebuah irama yang menyenangkan dan membuat para ilalang seakan menari, bergabung dengan dayuan irama tersebut. Sangat menenangkan dan menyenangkan. Aku tidak ingat pernah menemukan tempat yang seperti ini di kawasan New York. Dan kealamian yang murni yang sekarang ini terbentang di depanku sungguh menakjubkan. Suatu hal yang tidak bisa ku dapatkan setiap hari. Aku bahkan dapat merasakan semilir angin yang sejuk, mencium aroma dedaunan yang basah dan mendengar beberapa suara jangkrik yang jauh berada di luar sana. Sebuah tempat yang indah dan menyenangkan. Tidak ada suara bising lalu lintas, sirene mobil polisi atau ambulan maupun teriakan kasar dari para pemabuk. Ku rasa aku menyukai tempat ini.

Komplek perumahan tempat di mana Justin tinggal mungkin tidak tergolong sebagai top residen, tapi setidaknya ada sesuatu yang patut di pamerkan di sini. Sesuatu yang sederhana namun begitu mahal di New York. Dengan ketenangan yang ku dapatkan di tempat ini, mungkin aku akan mempertimbangkan untuk pindah jika ada kesempatan. Namun untuk saat ini, aku masih lebih mencintai tempat tinggalku. Lagi pula, meskipun ada panorama dan suasana yang menyenangkan di sini, tapi aku tidak melihat ada satu pun rumah yang nyaman untuk dihuni.

Seperti rumah Justin. Rumah ini terlalu kecil untuk disebut sebagai rumah walaupun ada satu lagi lantai di atas. Dapur tergabung menjadi satu dengan ruang tamu. Hanya ada satu set sofa, enam kursi kayu di dapur dan satu lemari ukuran sedang yang berisi perabot. Garasi rumah ini bahkan jauh lebih besar. Mungkin Justin lebih menyayangi garasi dari pada rumahnya.

Suara berisik dari belakangku membuatku mengalihkan pandang. Ku lihat Shay sedang mencari sesuatu di lemari dapur. Di sampingnya ada Justin, Sam dan Van yang sedang duduk mengelilingi meja makan. Mereka sedang mengatur strategi. Aku tidak ingin ikut campur dengan hal apapun – yang mereka rencanakan – untuk mematuhi Marks. Aku sudah putuskan, aku akan membiarkan mereka mengatasinya karena aku tahu pekerjaan ini tidak akan mudah dan tidak akan pernah cocok untukku.

"Jadi semua pintu di rumah itu memakai sistem kode?" Justin bertanya sambil memperhatikan sebuah karton putih bergambar yang berukuran cukup besar di atas meja. Matanya terlihat sangat jeli memandangi setiap sisi kertas tersebut.

"Tidak semua." Van menjawab. "Hanya pintu utama yang memang satu-satunya akses untuk memasuki rumah itu dan kamar Idone. Setiap penjaga maupun pelayannya memiliki kode mereka masing-masing." Aku mendengarkan Van berbicara. Baiklah. Apa memang ada rumah semacam itu? Hanya ada satu pintu untuk masuk ke dalamnya? Terdengar mustahil di telingaku. "Setiap tamu yang akan datang juga akan mendapatkan kode mereka untuk verifikasi." Dia menambahkan.

Justin mengangguk mengerti. "Hanya ada dua cara untuk memasuki rumah itu. Pertama kita masuk dengan cara halus, dalam artian menjadi salah satu dari mereka. Dan kedua, kita membutuhkan beberapa amunisi dan senjata api."

"Penjagaan di tempat itu cukup ketat. Aku sudah mempelajari setiap struktur rumah dan penjagaannya. Ada setidaknya dua lusin orang yang mengelilingi rumah itu, dan setiap orang memiliki Brugger bersama mereka."

"Oh sial." Sam menggerutu di samping Justin. Membuat kepala Justin menoleh kepadanya. "Brugger akan membunuh lima orang dalam lima detik."

Apa itu Brugger?

"Benar." Justin menjawab. "Maka pilihan pertama ku rasa lebih tepat."

"Menyusup menjadi salah satu dari mereka?" Shay kembali bergabung. Duduk tepat di samping Van.

Justin mengangguk. "Tepat. Kecuali ada cara lain yang lebih mudah."

Van berdiri. Dia mengambil sebuah tas hitam di sofa dan membawanya ke dapur. Meletakkannya di atas meja. Tangannya mengambil sesuatu dari dalamnya. Sebuah amplop besar berwarna cokelat.

Do Not Compare (by Aulia Delova)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang