Katakanlah aku memang egois dan serakah. Ingin merengkuh 2 laki-laki dalam hidupku. Tapi bukan berarti mereka memang akan menjadi milikku. Ramiro tak mencintaiku, sangat terlihat dari sorot matanya. Aku bukan anak SD yang bisa dibohongi dengan rayuan dan sentuhan-sentuhan seorang Ramiro.

Sedangkan Azka, dia mungkin memang mencintaiku. Tapi entah mengapa aku seperti tak bisa menerimanya lagi. Setiap aku memandangnya, didalam otakku selalu saja terputar kejadian itu. Aku bukanlah seorang pendendam, hanya saja aku bukanlah orang yang mudah melupakan memori menyakitkan. Aku akan pergi dari mereka yang menghianatiku bukan malah membalas perbuatan mereka. Tapi dengan Azka semuanya berbeda. Aku tak bisa pergi darinya. Sepertinya aku terobsesi dengan kehadirannya.

"Aku tau.. Azka, apakah kau menyuruh para ajudanmu untuk berjaga didepan rumahku?"

"Tidak, mereka meneyewa salah satu rumah didekat sana. Mereka hanya memantaumu lewat alat pelacak sesuai dengan keinginannmu. Ada apa?"

Aku kembali menyipitkan mataku untuk mencoba melihat lebih jelas lagi. Ada 1 mobil yang terparkir tepat diseberang jalan di depan rumahku. Didalam mobil ada sekitar 4 laki-laki berpakaian serba hitam lengkap dengan masker dan kacamata hitam, membuatku tak bisa melihat wajah mereka dengan jelas. Ada yang tidak beres disini. Ini sudah tengah malam, agak aneh jika ada tamu yang datang semalam ini untuk bertamu apalagi dengan pakaian seperti itu. Lagi pula mereka berhenti didepan tanah kosong depan rumahku.

"Tidak ada apa-apa. Tadi tamu tetangga sebelah berhenti tepat di depan rumahku, kukira mereka ajudanmu. Kau sudah menghubungi Arvita?"

"Sudah, tapi dia tak mengangkatnya. Aku tau tentang masalah mabuk dan pertengkaran singkat kalian. Maafkan dia, aku akan menghukumnya nanti. Mungkin dengan mengembalikannya ke korea."

Aneh, Arvita tak akan pernah tak mengangkat panggilan dari Azka. Bahkan dia akan selalu mengangkatnya tepat pada nada sambung pertama. Selain itu, Arvita juga tak menghubungiku ataupun membalas pesan-pesan yang kukirim hari ini.

"Jangan menghukumnya, dia hanya sedang tak tau apa yang harus dia lakukan, dia butuh bimbingan bukan hukuman. Aku yang akan mengurusnya, tapi kau tetap harus menghubunginya setiap hari. Dia butuh perhatianmu. Oh ya, bagaimana kabar Bunda?" Tanyaku sambil tetap memandang kearah mobil yang sedari tadi tetap behenti didepan rumahku.

"Bunda baik-baik saja, dia sangat berharap kau akan mengunjunginya. Bunda sangat merindukanmu dan Arvita."

"Mungkin jika liburan panjang aku akan mengajak Ramiro menjenguk Bunda, aku harus mengenalkannya pada Bunda bukan?"

Mataku sedari tadi tak lepas mengamati kegiatan orang-orang yang berada di dalam mobil hitam itu. Mereka tampak sedang menagawasi rumahku dengan jeli. Bahkan sepertinya mereka menyadari keberadaanku diatas sini.

"Ya, bagaimanapun juga dia suamimu. Ini sudah malam, beristirahatlah Nata. Aku mencintaimu."

"Ya, aku tau."

Ku letakkan ponselku pada meja sembari semakin mendekat pada jendela. Para penumpang mobil itu keluar dari dalam mobil. Ah dugaanku salah, ternyata hanya ada 3 orang laki-laki dan seorang wanita.Seorang wanita.. wanita itu.. Astaga itu Arvita. Aku yakin itu Arvita walaupun aku tak bisa melihatnya dengan begitu jelas. Saat aku akan melangkah untuk turun dan menghampiri mereka, handphoneku kembali bergetar. Sederet nomor tak dikenal menelfonku. Dengan segera kuangkat telfon itu dan mendekatkannya pada telingaku.

"Ku beri kau waktu 2 menit untuk turun dan ikut kami. Jika lebih dari 2 menit, maka nyawa adikmu yang menjadi korbannya." Suara seorang pria yang berumur sekitar 30 an begitu dingin dan mengancam. Aku tak mengenali suara ini.

"Buktikan dulu dia benar-benar adikku."

Aku tak ingin gegabah. Bisa saja mereka hanya membohongiku karena dengan jarak pandang yang terlampau jauh dan pencahayaan yang minim membuatku sulit untuk mengenali wajah wanita yang kuharap benar-benar bukan Arvita. Sedari tadi sudah ku tekan tombol perekam pada handphoneku, mungkin saja aku bisa merekam percakapan penting nantinya.

Aku mengamati mereka yang menyinari wajah wanita itu menggunakan senter dari handphone. Dia benar-benar Arvita. Aku segera bergegas mengambil sweaterku untuk menutupi kaus panjang yang kupakai. Untungnya aku sudah memakai celana jeans dan kerudung sehingga aku hanya membutuhkan sedikit waktu untuk berganti pakaian.

Aku menuruni tangga sambil mengendap-endap karena para penculik tadi melarangku membangunkan Ramiro dan menyuruhku meninggalkan handphoneku disini. Mereka sudah tau jika aku bersama Ramiro disini dan mereka juga sudah memasang pelacak pada handphoneku. Siapa mereka sebenarnya?

Waktu masih tersisa 1 setengah menit. Aku berlari masuk kedalam ruang kerja Papa dan segera menarik laci terbawah di meja kerjanya. Terdapa kunci kecil didalam laci itu. Kunci yang bisa digunakan untuk membuka lemari yang ia sembunyikan dibelakang tumpukan buku. Ku buka dengan cepat lemari itu dan segera mengeluarkan kotak didalamnya. Terdapat berbagai jenis pistol didalamnya. Aku pernah diajari salah satu dari jenis pistol ini oleh Papa. Mungkin membawa 1 atau 2 sebagai perlindungan tak masalah juga.

Ku ambil 2 pistol yang sempat kukenali yaitu Hackler & Koch Mark 23 dan FN FNP-45, kemudian menaruhnya pada sarung pistol yang bisa ku ikatkan pada tubuhku. Ku letakkan kedua pistol itu tepat pada bagian depan perut didalam kaosku. Mereka tak akan menyadarinya karena aku memakai kaos panjang dan sweater hitam cukup tebal sebagai penutupnya.

Aku hanya menghabiskan waktu 45 detik menyiapkan pistol-pistol itu. Kemudian, ku sambungkan handphone lamaku sekaligus mengambil alat pelacak yang tentu saja disembunyikan juga oleh Papaku. Memasangnya pada pergelangan kaki dan menutupinya menggunakan sepatu, kaos kaki dan celana setelah menghidupkannya sekaligus menyambungkannya pada komputer yang berada di ruang kerja Papa. Aku telah meletakkan handphoneku dikamar sesuai dengan ketentuan mereka. Tapi mereka tak tau jika sedari tadi percakapan mereka sedang kurekam. Setelah menyambungkan alat pelacak pada handphone lamaku ke komputer Papa dan menyembunyikan handphone mungil itu pada saku belakangku, aku bergegas untuk menemui mereka.

Mereka membawaku masuk kedalam mobil dan duduk berdampingan dengan Arvita. Arvita tampak sangat ketakutan. Dia tak berani berbicara satu patah kata pun. Saat aku masuk ke dalam mobil dia langsung memelukku dengan erat.

"Siapa kalian? Dan apa mau kalian? Jika itu uang aku bisa memberikannya tanpa harus susah-susah kalian culik seperti ini."

Mereka terkekeh menanggapi perkataanku. Kekehan mereka membuatku geram dan tak merasa takut sama sekali. 2 pria berada di depan dan 1 pria tepat berada di sebelah Arvita. Pria itu menodongkan moncong pistolnya ke kepala Arvita mencegahku untuk kabur.

"Kau memang benar-benar cocok menjadi istri dari seorang Rendra Ramiro Dhananjaya. Tak sedikitpun terlihat rasa takut pada matamu itu, yang ada malah kebencian dan tekad untuk kabur dari kami." Jawab pria yang sedang duduk di kursi penumpang yang berada tepat didepanku.

"Jawab saja pertanyaanku jangan banyak basa-basi."

"Kau akan tau nanti saat kita sampai."

Karena ini tengah malam dan lingkungan di daerah ini penuh dengan hutan membuatku tak bisa menebak kemana mereka akan membawa kami. Ku ambil handphone mungil dari saku belakangku dan menyelipkannya pada saku belakang celana Arvita. Aku berjaga-jaga jika mereka nanti akan memeriksaku. Setidaknya mereka tak akan memeriksa Arvita, semoga saja.

"Bicaralah menggunakan bahasa korea, mereka kemungkinan tak akan menyadarinya. Jangan sampai mereka menyadari handphone yang kau bawa, karena hanya handphone itu satu-satunya alat yang bisa kita gunakan untuk berkomunikasi dengan Ramiro. Aku akan membebaskanmu, jangan takut." Bisikku pada Arvita kemudian memeluk tubuhnya yang berguncang karena menangis.

Ku harap Ramiro segera bangun dan tau jika aku tak berada disana. Aku yakin penculikan ini ada hubungannya dengan Ramiro karena mereka mengenal Ramiro. Pati ada hubungannya dengan luka tembakan itu juga. Ramiro bukan hanya sekedar seorang CEO, pasti dia memiliki hal lain yang dia sembunyikan dengan baik dariku dan semua orang disekitarnya.


My Unplanned HusbandOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz