Di Balik Tirai Dua Pelakon

1.2K 131 15
                                    


Waktu kecil, bagian kesukaan Reinala di rumahnya adalah ruang televisi. Di sanalah mimpi-mimpinya akan negeri dongeng dibangun perlahan-lahan oleh channel Space Toon yang kini sudah kandas. Banyak dongeng dan fable dengan gambar-gambar sederhana yang ditayangkan di sana : Pippi The Longstocking, The Wizard of Oz, Tom Sawyer. Bahkan Reinala juga suka anime-anime yang ditayangkan di sana.

Reinala ingat selalu setia duduk di pagi hari, menantikan sebuah serial yang menayangkan dongeng-dongeng klasik remake yang kini ia juga lupa judul acaranya. Kemudian ketika ia mulai masuk SD jam tujuh pagi, Reinala menggantinya dengan setia duduk pada siang hari. Semua itu tidak membuatnya penuh mimpi dan bertumbuh dewasa lebih cepat dari umurnya, menantikan kisah cinta pangeran sejati dan cepat-cepat jatuh cinta pada figure sempurna. Sama sekali tidak.

Yang ada di otak Reinala adalah : apa jadinya bila tanganku ini yang menciptakan mereka di atas kertas?

Di ulang tahunnya yang ketujuh, mamanya menghadiahi Reinala seperangkat alat menggambar sederhana : sketchbook A4 untuk gambar besar dan A5 untuk iseng di tengah pelajaran (authornya juga pengen punya emak yang mendukung anaknya berbuat durjana di tengah pelajaran begini.......), sebuah pensil 2B, sebuah pensil mekanik, penghapus karet lembut yang dijamin tak membekas saat dihapus... mungkin agak lebih mirip paket Sukses UN Faber Castle bila Mama tidak menambahkan beberapa drawing pen beberapa ukuran di dalam kado ulang tahun itu dan sepaket pewarna yang berisi cat air, pensil warna, krayon, dan (gue lupa namanya yang ada oil-oilnya)

Sebagian dari hadiah itu masih tersimpan rapih, seperti sketchbook yang sudah penuh dan beberapa batang alat mewarnai. Yang berubah hanyalah bagaimana kini Reinala membenci ruang televisi.

Semua barang di sana sudah bukan barang yang Reinala kenali saat berumur tujuh tahun. Televisi pun, bukan merk yang sama seperti dulu. Bukan karena sudah out of date, tapi karena saat Reinala berumur sepuluh tahun, televisi itu hancur dibanting oleh Aksa.

"Sa, udah pulang..."

Panjang umur.

Reinala bisa mendengar kaki pemberontak itu menjejak keras-keras di lantai kayu rumahnya, berlanjut ke bongkahan kayu di anak tangga, kemudian perlahan menghilang menuju lantai dua. Bahkan tanpa terkatakan pun, Reinala bisa membayangkan mimik mamanya yang terpaku di depan televisi saat ini.

Semua ornament dan perabotan di ruang televisi—seluruh rumah ini... tidak semua bertahan lama. Ini bukan kelakuan Ayah. Ayah saja sering absen dari rumah, berpergian dengan kapal pesiar, menjadi seorng head chef.

"Yun, Aksa ngelempar piring lagi, ya?" suara Kartika—mama Reinala—terdengar lembut sekaligus sedih.

Yuni hanya menunduk sedih dengan nampan berisi pecahan piring yang tercampur dengan sup kacang merah ala Manado yang sudah susah payah Kartika buat. Majikannya membuatnya dengan setitik harapan yang sama tiap hari : berharap Aksa berubah.

"Maafin saya, Bu."

Kartika tersenyum sayu. "Bukan salah kamu, Yun. Tolong dibungkus di plastik dan langsung dibuang ke tong sampah, ya. Dipisahkan, masuk ke bagian sampah beling."

Sampah beling dan barang pecah lainnya bahkan lebih banyak dari bungkus plastik di rumah itu.

Sebab itulah Reinala kini membenci ruang televisinya sendiri. Di sanalah Aksa akan lewat setiap pulang sekolah pada jam delapan malam, menyakiti mamanya dengan verbal maupun non verbal, dengan hasil air mata maupun duka.... Reinala membenci Aksa dalam hatinya.

Jauh di dalam sana lagi, Reinala yang kini rebah di kasur berbalut kaus kedodoran dan celana sepaha, berusaha sekuat tenaga berfokus pada Tom Sawyer yang sedang ia baca, berusaha mengenyahkan sebentuk memori tentang betapa ia merindukan rebutan remote dengan Aksa yang ingin menonton Naruto, hingga saat Aksa mengenalkan Reinala pada dunia anime dan banyak karakter kuat lainnya.

Stream Of Dream : Aliran MimpikuWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu