Si Pelukis Lara

1.3K 120 8
                                    

Hari yang Reinala tunggu sudah datang. Di kepalanya sudah ada ide yang ia latih semalaman untuk melihat realisasinya, di tangannya sudah ada seperangkat alat gambar selengkap-lengkapnya, dan di hatinya sudah ada keyakinan kuat akan kemenangan yang harum di depan mata.

"Woy, calon pemenang!" Joanna menubruk Reinala dari belakang. "Gimana? Udah siap menang?" godanya.

Senyum Reinala terkembang sempurna. "Yep! Gue siap menang!"

Cewek itu terkekeh. Mata bulat dan pipi tembab Reinala selalu menjadi sesuatu yang menggemaskan untuk dilihat, membuatnya memeluk sahabat barunya erat-erat. "Uuuh, aku sayang kamu, Beb. Nanti kalau menang traktiran ya, Beb!"

"NO! YOU ONLY LOVE ME BECAUSE OF THE FOOD!"

Bel berdering keras dalam gema lorong sekolah. Dua perempuan itu buru-buru berlari ke lantai atas, balapan dengan kakak-kakak PJ yang dari kejauhan baru membuka pintu ruang OSIS dan menyelesaikan rapat pagi. Kalau ketahuan terlambat, bisa habis mereka kena hukuman aneh-aneh.

Tas jinjing dari karung beras yang merknya harus Rose Brand itu penuh alat gambar bergemerincing menabrak satu sama lain. Copic, G-Pen, drawing pen, kuas, penggaris, dan penghapus dalam berbagai tipe... semuanya hasil usahanya sendiri. Copic yang sedemikian mahal kini sudah setengah jalan Reinala koleksi warna-warnanya.

Dengan kelengkapan senjata seperti ini, bagaimana ia tidak menang?

"YEAH, GUE SIAP MENANG!"

***

Reinala tidak mau makan.

Sampai dua kali istirahat, Reinala tidak bergeming dari tempat duduknya. Sejak tadi pun ia hanya melamun menatap jendela dengan hampa. Berkali-kali para PJ menegurnya, tapi ia hanya menjalani semua hukuman kecil-kecil itu dengan muka datar yang layu.

Gambar kemarin masih terbayang-bayang dalam pikirannya. Bagaimana tidak? Sejak dulu gambarnya selalu memenangkan juara 1. Terlepas dari sebagus apapun ide peserta lain, idenya selalu lebih cemerlang dibanding pesaing-pesaingnnya. Sudah bingung di mana lagi menaruh piala. Bahkan untuk piala kemarin, Reinala sudah dengan percaya dirinya membuat sebuah tempat. Tapi... gambar kemarin...

Bibirnya mengerucut kesal. Bete, emosi, baper... segala-galanya bercampur jadi satu. "Uuuuuuuhhhh......" Hanya itu yang keluar dari bibir kerucutnya sejak tadi.

"Eh, udah!" Sebuah tepukan keras menghantam punggung Reinala. Badannya yang rebah di atas meja langsung tersentak. "Ini cuma lomba kecil, kali. Harusnya lo gak segalau itu!"

Reinala mendengus pada Joanna. "Duh, lo gak ngerti. Gimana enggak? Gue udah terbiasa menang. Ini tuh gak enak banget!" celotehnya. "Emang apa sih yang kurang dari gambar gue? Apa jangan-jangan jurinya secara pribadi emang lebih suka gambar bergenre action yang keras dibanding gambar semi-realistis gue?"

Melihat pipi tembam yang padat dan mata bulat yang berkilat penuh emosi menggemaskan itu malah membuat perut Joanna tergelitik. "Hahahaha, sombong sih lo! Kan gak selamanya lo bisa jadi yang terbaik. Juara 2 itu cukup, kali!" responnya, dengan suara melengkingnya seperti biasa. "Nih, semakin lo bertanya tentang kekalahan lo, semakin besar kesombongan lo. Karena lo merasa cukup puas akan diri sendiri dan layak menang! Hidup itu pelajaran, jadi lu gak boleh merasa puas gitu, Neng!"

"Tapi kan gak selalu gitu, Jo. Ada yang namanya evaluasi diri..." rintih Reinala.

"Sekarang lu lagi evaluasi diri atau lagi menyombongkan kehebatan lo?"

Satu-kosong. Reinala tidak bisa menjawab apa-apa lagi. Joanna mungkin benar. Selama ini ia terlalu bangga akan kepintarannya, sehingga ia merasa sangat terpukul akan kekalahan yang ia alami dari gambar Superman yang terasa sangat biasa itu.

Stream Of Dream : Aliran MimpikuTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon