Lelaki Melankolis

1.3K 118 7
                                    

Joanna pernah bercerita di mobilnya pada hari pertama ia memperbolehkan Reinala pulang bersama. Tipikal lelaki yang Joanna suka adalah lelaki berwajah melankolis yang bersorot mata tajam dengan rambut ikal yang gondrong hingga leher. Ia selalu suka aura melankolis dalam diri musisi, katanya.

"Tapi kan katanya beberapa musisi itu bajingan, Jo," jawab Reinala sangsi. "Apalagi yang gondrong dan melankolis puitis gitu. Katanya sih mudah menjaring wanita. Iya gak, sih?"

Joanna terkekeh. "Hahahaha! Ya enggak semua, lah! Kalau lo percaya stereotipe mulu, kapan lo dapet jodoh? Berani, Men, berani!"

Kala itu, Reinala hanya bisa menatap Joanna dengan cengok. Soal stereotipe, perempuan itu benar juga. Barangkali ia harus banyak belajar dari cewek cuek ini.

Hari ini sekolah ramai total. Beberapa tiket juga dijual untuk anak-anak di luar sekolah. Dijatah sekitar 100 tiket. Ditambah dengan jumlah murid dalam sekolah, hari ini lapangan mereka akan dipadati oleh sekitar460 siswa, belum termasuk embel-embel stand yang dibuka. Beruntung lapangan parkir mereka sangat luas, jadi semua stand sponsor dan stand yang membayar sewa bisa digelar di lapangan parkir.

"Banyak banget, Jo. Kita di mana?" Reinala celingukan. Beberapa wajah bisa ia kenali dari almamaternya atau bahkan Selebgram dari beberapa sekolah-sekolah terkenal.

Joanna terkekeh. "Itulah canggihnya sekolah kita. Di hari yang spesial ini, pagar untuk ke lantai dua dan tiga dibuka untuk siswa sini, dengan menunjukkan ID Card. Lu bawa kan? Ayok ke depan kelas kita!"

Dengan tarikan Joanna yang antusias, Reinala mengekor sambil merintih karena tangannya sedikit nyeri. Entah apa yang hari ini membuat Joanna antusias, atau ia harus terbiasa dengan gaya perempuan ini yang bombastis dan boyish. Hanya rambut panjangnya yang membuatnya nampak semakin cantik. Sekali lirik, orang akan sulit percaya pada ketomboyan perempuan ini.

Sekelabat di sisi kirinya, ia melihat seseorang berdiri di koridor sekolah. Sendirian, menjauh dari kerumunan yang berebut lokasi strategis untuk berdiri di depan panggung. Sosok itu berdiri, memandangi gambar-gambar di dinding. Entah apa yang ia lihat, tapi Reinala mengenalinya sebagai Adias Kuntoro, cowok yang kemarin ia lihat di dekat kamar mandi.

"Jo, kemarin siapa nama pemenang lomba yang gambarnya Superman meratap itu?" tanya Reinala sembari menyalip kerumunan dan mengekor Joanna.

"Yoen... Joel... gatau siapa, Rei. Kita sampe ke lantai 2 aja dulu, ya. Ntar bisa dipikirin belakangan."

Reinala tercenung menatap Adias yang terus memandangi lukisan itu dengan wajah datar. Bila lukisan itu membosankan, tidak seharusnya ia berdiam lama-lama di hadapan juara 1 tahun ini seperti itu. Rupanya, tarikan Joanna yang cukup keras dan cepat pun bisa mengalihkan pikiran Reinala begitu saja tentang Adias.

"Keluarin ID Card lo, Rei."

Setelah kedua kartu ada di tangannya, si panitia keamanan itu manggut-manggut. "Oh, utas, toh. Selamat, ya. Besok kepala lo ga nyeri dikuncir-kuncir dua puluh biji kayak gitu." Ia tersenyum dan menyerahkan kartu Joanna dan Reinala kembali.

"Yuk," ajak Joanna.

Mereka berdua meniti tangga menuju lantai dua. Memilih lokasi persis di depan kelas mereka, yang cukup strategis untuk melihat panggung yang atapnya cukup tinggi dan tidak menutupi performa dari band yang baru membungkuk dan mempersiapkan alat musik mereka.

"Ini, Rei, yang kemarin gue ceritain." Joanna tersenyum. "Kata temen gue, aliran band mereka itu rock, tapi liriknya deep. Artistik banget!" Perempuan itu mencondongkan tubuhnya untuk melihat anggota-anggota band dari dekat.

Stream Of Dream : Aliran MimpikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang