Ngomong-Ngomong Soal Melankolis...

1.3K 99 8
                                    

Sudah hampir tiga minggu setelah festival MOS itu berlalu. Joanna juga sudah mulai lupa pada mata melankolis itu dan sibuk lagi dengan semua tugas-tugasnya. Rupanya awal-awal kelas sepuluh pun, dunia ini masih tak adil melindas mereka dengan kekejian demi kekejian.

Katanya sih, kalau masih kelas sepuluh, nilai tidak usah tinggi-tinggi. Mempertahankannya untuk SNMPTN nanti susah. Lebih baik jelek, terus meningkat perlahan-lahan ke atas saat kelas dua belas semester dua nanti. Intinya, SNMPTN itu kalau tidak konstan, ya naik terus. Satu angka turun, raib masa depan.

Sebenarnya Joanna sadar, bahwa di negeri maupun swasta, ia punya pilihan. Menyadari banyak orang-orang yang tidak punya banyak pilihan, Joanna tidak terlalu ambisius dengan perguruan tinggi negeri. Masuk syukur, enggak juga bisa bisa ciao ke Australia. Intinya, jangan ambil lapak orang yang membutuhkan kecuali memang Tuhan yang memberikan rejeki nomplok masuk PTN.

"Heh! Pagi-pagi udah gores-gores aja. Udah kerjain Tugas 1 Sejarah belum?" sambut Joanna pada Reinala yang sibuk guras-gores buku sketsa.

Sekolah mereka memang memiliki sistem penilaian yang rapih: Tugas 1, Tugas 2, Tugas 3, Uji Kompetensi (dari setiap soal di akhir bab textbook), Tugas Kelompok 1, Tugas Kelompok 2 dan Ulangan Harian adalah rangkaian tugas yang didapatkan per bab. Nanti semua diakumulasikan menjadi nilai tugas utuh, dicampur nilai Ujian Akhir Semester dan Ujian Kenaikan Kelas. Jadi tidak ada tugas-tugas liar di luar itu dan guru tidak bisa semena-mena ngedrop tugas saat lagi mager menjelaskan.

Reinala langsung menjatuhkan pensil dan memukul dahinya. "Aduh! Gimana, nih! Gue belum ngerjain!" pekiknya renyah. "Uuuuh... sekarang aja, deh. Tanggung padahal, gambar gue udah mau jadi! Eh, apa nanti aja, ya? Selesain gambar dulu?"

"Nala... mending kerjain soal dulu, deh! Prioritas. Masalahnya Sejarah kan abis ini," sahut Joanna.

Reinala manyun. Ditatapnya buku sketsa dengan gambar setengah matang itu, bergantian dengan buku cetak Sejarah yang membosankannya bagai langit dan bumi dibanding melanjutkan menggambar. Akhirnya Reinala nyengir tanpa dosa dan mengambil batangan arang kesayangannya dan kembali menggores.

"Woy! Masa depan lo, nih! Jangan gambar dulu, elah! Reinala batu banget, sih?!"

"Ada ape lagi, Jo?" Disa menaruh tasnya di atas bangku. "Tugas 1 udahan, Jo?" tanyanya.

"Gue udah! Tapi ini, nih, si Reinala. Masa udah gak ngerjain soal, dia masih aja ngegambar dulu. Abis ini kan langsung Sejarah!" Joanna menunjuk Reinala yang anteng menggambar tanpa dosa.

Disa langsung menghampiri Reinala dan geleng-geleng kepala macam shifu bijak dari kuil Nepal nun jauh di sana. "Heeeh, Reinala. Orang di luar sana bertaruh jiwa dan raga masuk PTN. Gambarnya nanti aja, mendingan lu kerjain dulu tuh, Sejarah Tugas 1. Udah haus kasih sayang dan minta dibelai banget textbook lo."

"Ssstt... gue masih harus gambar detail rendanya, nih. Lu kan tahu, baju goth lolita itu detailnya ribet..." Reinala mempertajam pandangannya pada tepian gaun original character miliknya yang ia beri nama Giselle. "Dikit lagi Giselle tambah cakep, ketemu sama Pangeran Doug."

Disa tepuk jidat. "Udah, Jo. Udah membatu kepalanya. Isi palanya tahu bulet kali, makanya bebal banget kita ajak ngomong."

"Ih, emang bener-bener nih bocah!" Joanna gemas.

Dan teruslah dua cewek itu meratapi kegiatan gambar-menggambar Reinala. Beberapa menit kemudian, bersamaan dengan Giselle yang udah cakep, Reinala pun tambah cakep dengan dua tangan di kuping dan mejeng unyu di luar kelas, jadi gnome penghias kebun sekolah.

Você leu todos os capítulos publicados.

⏰ Última atualização: Jul 09, 2016 ⏰

Adicione esta história à sua Biblioteca e seja notificado quando novos capítulos chegarem!

Stream Of Dream : Aliran MimpikuOnde histórias criam vida. Descubra agora