BAGIAN DELAPAN

Mulai dari awal
                                    

   “Kuncinya, Ra,” ucap Daffin lagi, ia tidak peduli jika Yora akan memarahinya lagi.

   Tangan Yora menyugar rambutnya frustasi. Ia mengalah dengan menyerahkan kunci mobil pada Daffin. Tenaganya sudah terkuras habis, ia lelah. Daffin lantas menerimanya dengan senyuman tipis. Lelaki itu kemudian mengendarai mobil Yora dengan kecepatan sedang.


🐾🐾🐾


   Setelah sampai di rumah Yora, Daffin membiarkan Yora masuk. Perempuan itu tidak mengatakan apapun. Dia terlalu kaku. Kali ini Daffin dapat melihat kekakuan itu dari dekat, dan sekarang ia juga dapat melihat banyak kesedihan di mata Yora. Ada banyak hal yang tak dapat ia perlihatkan, tak dapat ia suarakan, dan tak dapat ia ekspresikan. Ada banyak air mata yang tertahan dan ada begitu banyak luka yang ia rasakan.

   Daffin terus memandang Yora yang sudah berjalan memunggunginya memasuki rumah. Kesedihan itu membuat Daffin ingin berjanji. Daffin akan berjanji menjadi malaikat untuk Yora. Menjadi air mata, tawa riang, dan bahu untuk Yora bersandar. Di saksikan bundar terik di atas sana, Daffin berjanji tidak akan meninggalkan gadisnya.

   Di sisi lain, Yora berdiri di depan rumah dengan ragu. Ada banyak hal yang ingin ia ketahui, namun ia tak sanggup lagi menerima begitu banyak kenyataan yang membuatnya terluka. Napasnya terasa berat, ia merasa tidak senang dengan dirinya sendiri. Dirinya yang dulu selalu berpura-pura mati rasa, sekarang terlalu peka untuk merasa.

   Akhirnya Yora menghela napas pelan dan mengangguk yakin. Tangannya bersiap untuk mendorong pintu kayu besar berwarna putih itu dan masuk ke dalam rumah. Saat kakinya melangkah masuk, suara bariton papanya terdengar marah.

   “Saya nggak mau tahu, yang nyebarin berita itu harus dikeluarkan dari sekolah saya.”

   Yora tetap diam. Setelah mendengar ucapan papanya, Yora merasa memang ada yang disembunyikan dari dirinya. Pria itu tidak akan mengambil tindakan secepat dan segegabah itu. Apa yang dituduhkan kepada Yora dan papanya seakan nyata dan benar adanya. Selama ini, Yora memang tidak sedekat itu dengan mamanya, dari kecil ia sering dititipkan di rumah adik sepupu mama yang ia panggil Ibu. Mamanya selalu sibuk bekerja. Dua tahun lalu jarak itu semakin merenggang, fakta bahwa mama telah merencanakan pembunuhan terhadap adik sepupunya sendiri membuat Yora kecewa dan menolak kehadiran wanita itu di hidupnya.

   Tunggu.

   Yora tidak pernah tahu alasan wanita itu melakukannya. Wanita itu juga tidak ditangkap oleh polisi. Pihak kepolisian menyatakan bahwa ia tidak terlibat. Tapi mata dan telinga Yora tidak mati fungsi, ia melihat dan mendengar dengan jelas mama membayar pria yang telah menembak Ibu di bassment kantornya.

   Yora tersentak oleh pikirannya sendiri. Ia menoleh pada Papa yang masih belum menyadari keberadaannya. Helaan napasnya yang berat mengiringi langkah Yora untuk mendekat. Derap langkah itu pun disadari Rossa—mamanya—yang baru saja muncul dari balik dapur. Langkahnya terhenti, mereka bersitatap dalam diam. Yora ingin tahu, kenapa mama yang dari kecil ia anggap sebagai wanita paling mulia di dunia ini tega melakukan perbuatan keji seperti itu. Kebencian dalam hati Yora membuatnya tersiksa. Wanita itu terlalu membuatnya bertanya-tanya.

   Adam—papa Yora melirik Rossa yang hanya diam sambil memandang lurus ke belakangnya. Adam pun berbalik—mengikuti arah pandangan Rossa. Pria itu cukup terkejut karena kedatangan Yora yang begitu tiba-tiba. Mereka diam sampai akhirnya Adam memasukkan ponsel ke dalam saku celana dan berkata, “Nggak ada yang perlu kamu tanyakan.” Adam melirik Yora. “Jangan dengarkan kata mereka.”

   “Kenapa papa menyembunyikan banyak hal dari aku?”

   Pria itu menoleh pada putrinya. “Apa maksud kamu?”

   Yora menghembuskan napas dengan kasar. Dengan manggut-manggut ia tersenyum sarkas. “Pa, sebenarnya aku ini anak siapa?”

   Dua manusia di hadapan Yora mendadak bisu. Mereka tak mengatakan apa-apa sampai Adam tersentak oleh pemikirannya sendiri. Ia melirik Yora. “Papa udah bilang jangan dengarkan mereka. Anak siapa lagi kamu kalau bukan anak papa?” Adam menggeleng-gelengkan kepalanya lalu melangkah meninggalkan Yora dan mamanya di ruangan itu.

   Rossa melihat putrinya dalam diam. Saat putrinya juga bergerak ingin pergi, tangannya spontan menghentikan langkah Yora. Yora meliriknya heran. Tak sekali pun ia dapat melihat kelembutan dari cara Yora menatapnya. Putri semata wayangnya itu sudah terlanjur membencinya. “Mama bisa jelaskan.”

   Bayangannya setelah ia berkata begitu adalah, Yora akan mendengarnya dengan rasa penasaran. Rossa kira putrinya itu akan menatapnya lebih lama, lebih tenang, dan lebih teduh. Tetapi ia salah, Yora menghentakkan tangannya di udara, menyorot Rossa dengan tajam. “Bukankah lebih baik kalo kita berdua bersikap nggak saling peduli lagi? Dengan begitu nggak akan ada lagi yang merasa dikecewakan.”

   Perlahan Rossa mengembalikan tangannya ke samping tubuh. Kalimat Yora terlalu menghantam dadanya. Lidahnya kelu, tubuhnya mati rasa. Padahal ia hanya ingin semesta mengembalikan putrinya padanya.

🐾🐾🐾


   Saat ini, Yora melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, membelah keramaian ibukota. Ia memutuskan keluar dari rumah yang membuatnya sumpek. Mamanya sempat bertanya ke mana ia akan pergi, namun sekali lagi Yora tidak mengacuhkan wanita itu. Ada gejolak amarah di dalam dadanya, perasaan yang tidak dimengerti siapa-siapa. Ia kecewa pada semua orang. Pada papanya yang menyembunyikan banyak hal, pada mamanya yang tega berbuat keji, dan pada teman-temannya yang sengaja menghina tanpa rasa bersalah.

   Yora mencengkeram stir kemudi dengan kuat, air matanya perlahan jatuh. Yora memutuskan untuk menepi di pinggir jalan yang cukup sepi. Suara lalu lalang kendaraan mengalahkan isak tangisnya yang menggema di dalam mobil, sampai tak sadar ponselnya dari tadi berdering.

   Awalnya ia tak berniat dan memilih tak mengacuhkannya, karena ponselnya itu seakan tak mau diam—memberitahu ada panggilan masuk, lantas Yora menjangkau ponsel yang ia letakkan di atas dasboard mobil.

   Belum sempat ia melihat caller id yang tertera di layar, tangan Yora perlahan melemas. Sampai ponsel di tangannya mendadak terjatuh, dadanya sakit, dan kepalanya berdenyut hebat. Napasnya tersengal-sengal seperti habis berlari. Ia memucat, tak disangka hidungnya mengeluarkan cairan berwarna merah yang kental.

   Penglihatannya mendadak buram, hanya beberapa objek yang bisa ditangkap pupil matanya. Yang lain seakan lenyap, perlahan. Sampai akhirnya semuanya hitam, tanpa warna. Seperti kegelapan, yang menakutkan di malam yang mencekam.

   Di bawah, sejajar dengan kakinya, sebuah benda berdering berulang-ulang. Memecah keheningan dengan lagu fly with the wind yang berdering berulang kali, beberapa detik mati kemudian berdering lagi. Menampilkan sebuah nama yang tertera di atasnya.

   Daffin.



🐾🐾🐾

If You Know Me [ TELAH TERBIT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang