Ini sudah pukul 6 pagi, aku sudah tidur selama 1 hari. Aku tak ingat apapun selain pusing, mual, dan rasa sakit yang menyerang perutku tadi pagi saat aku akan memasak. Aku segera berlari masuk ke dalam kamar mandi untuk mengeluarkan semua isi perutku yang hanya berisi air. Setelah itu, aku jatuh dan entahlah. Gelap, ya hanya gelap itu saja yang kuingat.Ramiro terbangun dari tidurnya. Dia menatapku dengan seksama. Matanya tak berkedip dengan durasi yang cukup lama.

"Hei kau kenapa? Jangan melihatku seperti itu. Aku tau kalau aku memang cantik, tapi jangan terlalu terkesima seperti itu."

Pipi Ramiro memerah, sepertinya dia tak menyadari jika dirinya sedang memandangiku dengan lekat seperti itu. Dia tesipu, hal yang baru kulihat dari Ramiro. Namun Ramiro segera mengalihkan pandangannya dan memperbaiki mimik wajahnya menjadi Ramiro yang berhati sedingin es.

"Ku kira kau akan mati. Jika kau baik-baik saja, aku akan pulang. Aku butuh mandi dan mengablilkanmu pakaian. Eva yang akan menemanimu."

Dengan itu, Ramiro pun pergi dari ruang rawat inapku. Tak lama setelah itu, Eva masuk dan duduk didekatku. Dia menyuapiku semangkuk bubur yang hambar dengan telaten. Bahkan dia menawariku untuk membasuh tubuhku. Tentu saja aku menolak. Eva benar-benar keibuan. Perlakuannya sangat lembut dan tatapan matanya yang begitu menghangatkan membuatku bisa merasakan kasih sayang dari seorang ibu.

Sekarang sudah pukul 8 dan Ramiro belum kembali juga. Aku menyibukkan diriku dengan menggonta-ganti channel tv dan teralihkan dengan suara pintu yang terbuka. Inilah yang paling kubenci. Kenapa harus dia? Mengapa dia selalu saja berada dimanapun aku berada? Dia ini hantu apa manusia sih?

"Bagaimana perasaan anda Nyonya Ramiro?"

"Sangat buruk karena harus bertemu denganmu Dok."

Dokter Rina terkekeh kemudian menyuruh para perawat untuk keluar, memberi kami ruang privasi untuk berbicara. Dia adalah dokter yang menanganiku di korea dulu. Dan entah mengapa dia selalu saja berada di satu daerah yang sama denganku. Kuharap ini tak ada sangkut pautnya dengan sikap over protective dari Azka. Tapi kemungkinan besar ini memang ulah Azka, jika bukan dia siapa lagi.

"Aku tak tau jika kau sudah menikah? Bukankah kau tak ingin menikah? Apa kau sudah terlepas dari trauma untuk menikah?"

"Bisakah kau bertanya satu persatu? Dan aku tak ingin menjawab pertanyaanmu itu, jangan mencoba untuk mengais privasiku. Itu kesepakatannya." Sekali lagi Dokter Rina terkekeh karena jawabanku. Sebenarnya aku tak biasa bersikap seperti itu, tapi Dokter Rina selalu saja berusaha mengorek informasi privasiku. Aku tak begitu menyukai orang sok tau dan selalu ingin tau privasi orang lain seperti dia.

"Hahaha Renata tetaplah Renata, dasar introvert. Aku sudah bisa menebaknya walaupun kau tak menjawabnya. Tapi Renata, sekarang serius kau harus menjawabku. Apakah ada yang mengganggumu? Atau mengancammu?"

"Tidak ada."

"Tapi apa itu disekujur tubuhmu hah? Kau menyakiti dirimu lagi."

Dokter Rina menyingkap kaosku, menampilkan lenganku yang penuh lebam. Aku sendiri juga tak tau jika tubuhku terluka seperti ini. Tak hanya dilengan itu saja, lengan lainnya dan juga kakiku. Sepertinya ini efek dari latihan danceku kemarin malam. Aku jatuh berkali-kali, bahkan mungkin ratusan kali. Tapi aku tak merasa jika tubuhku terluka seperti ini. rasa sakitnya baru kurasakan saat Dokter Rina menunjukkannya padaku.

"Renata, kau harus jujur padaku. Memang sebelumnya kau sudah dinyatakan sembuh, tapi ini apa? Kau menyakiti dirimu lagi. Sebenarnya ada apa denganmu?"

My Unplanned HusbandWhere stories live. Discover now