Lelaki itu, siapa?

1K 27 5
                                    

"ARRGH! Kesel banget! Kenapa coba kalo rencana yang direncanain dari dulu sampe mateng itu pas hari H-nya nggak sampe kejadian?!"

Faya, si teman sekamar asrama Yira sejak dua tahun yang lalu, memandang bingung pada Yira yang sedang tengkurap sambil marah-marah di depannya. Kenapa dia?

"Maksud lo?" tanya Faya sambil melepas peniti yang berada di bawah dagunya, yang mengaitkan hijabnya.

"Ummi gue, tuh!" Yira mengerucutkan bibirnya dengan berlebihan. "Udah tau gue kangen banget, giliran pengen ketemu dan diajak ke pantai aja malah nggak jadi. Gimana nggak kesel coba?!"

"Ya ampun, gue kira apaan. Lain kali bisa, kan, ke pantai? Bentar lagi juga MTs bakal UN, terus libur panjang. Pasti ada liburan buat santri. Tenang aja," ucap Faya menenangkan namun terdengar meremehkan bagi Yira.

Yira geram dan langsung saja mengambil bantal yang ada di sampingnya. "Lo, tuh, nggak ngerti perasaan gue banget, sih, Fay?!" Yira melempar bantal itu ke arah Faya yang sedang sibuk melepas hijabnya.

"Aduh! Biasa, dong!"

"AAHH! KENAPA HARI INI SEMUA ORANG NYEBELIN BANGET, SIH, YA ALLAH?!" Yira menelentangkan badannya, pasrah dengan keadaan.

"Budeg kuping gue, woy! Elaaah," langsung saja Faya menjitak kepala Yira yang ditanggapi dengan tepukan keras di paha Faya.

"Mager banget gue hari ini. Nggak semangat. Ngaji bareng ntar sore, gue nggak ikut, ah," kata Yira sambil bangkit lalu menuju kamar mandi.

"Dih? Itu wajib, Ra! Awas lo kalo nggak ikut!" ancam Faya dengan sedikit berteriak karena Yira sudah berada dalam kamar mandi.

Yira tidak mau mendengarnya. "Lalalalalalaaa," senandung Yira dengan tidak jelas memotong ucapan Faya.

"Dasar nggak jelas!" teriak Faya lagi, dia sudah kesal dengan sikap Yira yang selalu saja tidak menunjukkan adanya sifat kedewasaan.

"Dududududuuu."

"Astaghfirullahal'adzim, Ya Allah, aku mohon keluarkanlah setan yang ada pada diri Yira, Ya Allah. Aamiin," ucap Faya dengan sedikit lantang dan nada yang dibuat-buat.

—×:×:×—

Seperti pada sore biasanya, santriwan dan santriwati pesantren Al-Malik dikumpulkan di satu masjid besar dengan dua lantai untuk mengaji bersama, para akhwat ditempatkan di lantai dua dan para ikhwan di lantai satu.

Namun suasana di masjid yang tenang itu berbeda dengan keributan di kamar Yira. Dia tetap bersikukuh untuk tidak ikut mengaji bersama, dia benar-benar tidak mood untuk saat ini. Sedangkan Faya, terduduk lemas di samping ranjang, lelah karena mengeluarkan semua tenaganya dengan sia-sia untuk menarik Yira menuju masjid. Tapi apa daya? Faya tidak berhasil. Berat badan Yira yang melebihi berat badan Faya, telah menyiksa tangan Faya.

Tok! Tok! Tok!

"Assalamu'alaikum," salam seseorang di depan pintu.

"Wa'alaikumsalam," jawab Yira dan Faya serempak.

"Gue aja yang buka," celetuk Yira dengan spontan karena suara salam itu berasal dari laki-laki. Hmm, modus, dasar.

Faya menekan bibirnya membentuk garis lurus dan memutar bola matanya. Yira tidak memperdulikan hal itu, dia segera membukakan pintu.

Lelaki itu dengan tiba-tiba memalingkan wajahnya karena Yira yang juga dengan tiba-tiba membuka pintunya.

"Maaf kalau mengganggu, ukhti disuruh Ust. Winda ke masjid karena acara mengaji bersama akan segera dimulai," ujar lelaki itu tanpa melihat Yira.

Yira memaklumi hal itu, tapi dia tidak henti-hentinya memperhatikan setiap lekukan dari wajah sang pangeran, sangat tampan. Bahkan Yira tidak mendengar apa yang tadi diucapkan lelaki itu.

"Oke, deh!" jawab Yira asal dan menutup pintunya kembali.

Yira menarik tangan Faya dengan tiba-tiba saat Faya sedang melamun sambil bertopang dagu, membuat Faya kaget bukan main.

"Bawa Al-Qur'an lo, kita ke masjid sekarang!"

Faya mengerutkan dahinya lalu setelahnya tersenyum lebar. "Lo udah waras, Ra? Sumpah? Alhamdulillah!"

"Gak usah lebay! Gue kayaknya dapet moodbooster baru, makanya jadi semangat, nih!"

"Jadi? Lo suka sama cowok yang tadi?"

"Apaan, sih? Nggak usah banyak omong, deh. Cepetan, ah!"

Faya dengan sigap mengambil Al-Qur'an, mukena, dan memo kecil beserta pulpennya untuk mencatat ilmu penting dari sang Ustadzah. Yira tidak membawa apapun dan langsung mengunci kamarnya.

Sampailah mereka di masjid yang cukup besar, sudah ramai dengan santriwan santriwati lengkap dengan tausiyah dari Ustadzah Winda, Ustadzah cantik dan masih muda.

Hingga tiba saatnya sesi tanya jawab mengenai tajwid. Sontak, Yira gelagapan setengah mati saat ditanyai. Dia ini satu-satunya santri yang tidak pernah mengerti tentang hal seperti ini, mengaji saja dia masih belum fasih. Seolah-olah fasilitas dari orang tuanya sangat disia-siakan. Sudah hampir tiga tahun Yira berada di pesantren ini, tidak membuatnya menjadi alim dan mendalami agamanya. Karena apa? Karena Yira sama sekali tidak menginginkan berada di pesantren dan bersekolah di MTs. Dia ingin bersekolah di SMP yang umum, tidak berbau agama yang sangat kental seperti ini.

Yira menyenggol-nyenggol lengan Faya. "Mad tabi'i," kata Faya sambil berbisik.

"Mad tabi'i, Ust," jawab Yira pada Ustadzah Winda.

Acara mengaji bersama berakhir dengan shalat maghrib berjamaah. Berhubung Yira tidak membawa mukena, dia harus bergantian dengan Faya.

Saat sedang menunggu Faya selesai shalat, dia kepikiran laki-laki yang tadi. Kira-kira namanya siapa, ya? Kok bisa ganteng banget gitu? Makannya apa, ya? Ibunya makan apa aja, ya, waktu ngandung dia?

"Dor!"

"Astaghfirullah!" spontan Yira menengok ke arah belakangnya, ingin melihat siapa yang tadi mengagetkannya.

"Loh? Kok lo bisa ke sini, sih?!"

Not Afraid to be JombloDove le storie prendono vita. Scoprilo ora