Mawar Itu Merah, Ros!

118 1 1
                                    


Di selembar kertas itu kau susun mimpi-mimpimu. Impian nomor satu adalah membahagiakan ibumu dengan lulus kuliah tepat waktu. Usai itu, bekerja menjadi penulis yang bukunya laris, katamu. Ahai, kau juga ingin melanjutkan studi ke negeri tujuan kita selama ini, negeri asal-muasal Toyotomi Hideyoshi—salah satu samurai yang kau kagumi. Kemudian, kau ingin memiliki rumah pohon di mana kita bisa bercengkrama di sana, meneropong sunrise di kaki bukit hingga mengintip burung-burung kepodang pulang ke sarang. Ada puluhan rumpun mawar yang ingin kau tanam di bawah rumah mungil itu. Kau akan menyiraminya tiap pagi menjelang, hingga sinar mentari yang hangat akan memberi ruang yang leluasa bagi hamparan mawarmu untuk bertumbuh, menguncup, dan mekar. Jika senja menyapa, kau ingin mengajakku berdiskusi tentang Sayap-Sayap Patah yang digubah Gibran. Dalam remang senja kau ingin bersenandung tentang cinta yang sungguh maya, bagai saputan cat jingga di kaki langit senja yang tak bisa dijamah, hanya bisa kau pandang oleh kedua manik matamu. Manik mata yang penuh kejora dengan selaksa cita-cita, sekaligus sarat akan pancaran kesedihan yang tak berkesudahan.

"Aku tak ingin percaya lagi pada makhluk bernama lelaki," ujarmu dengan pandangan mata sayu. Mata kejoramu mulai mengembun, kemudian embun itu mulai menjelma tetes demi tetes yang mengaliri pipi lembutmu. Kau tersedu bagai anak kelinci yang kehilangan induknya. Maka, mungkin aku bisa disebut sebagai sang pengembara yang menemukanmu terdampar di padang salju. Aku memungutmu, menyembuhkan lukamu, menjadi kawan bercanda dan berbagi apa saja. Berbagi apa saja, mungkin, kecuali... cinta?

Ayahmu meninggalkan ibumu karena wanita lain semenjak usiamu masih sangat belia. Kini, kejadian serupa terulang padamu. Elang Perkasa, lelaki bermata teduh yang sejak awal kalian berkenalan telah berani menyatakan perasaannya kepadamu kontan membuatmu terperdaya. Namun, selang beberapa bulan setelah kalian jadian, siapa mengira don juan itu ternyata telah melanglang buana dengan kekasih barunya. Lelaki tak pernah usai menebar bunga, namun menyayatkan luka pada akhirnya. Sementara perempuan berlebihan menimang harapan dan mimpi-mimpi tak pasti. Bukankah tuhan menciptakan lelaki sebagai pelindung bagi sang hawa, dan perempuan yang tercipta dari rusuk kiri itu hadir untuk dicintai? Doamu, semoga tuhan tak menurunkan murka-Nya karena lelaki terlupa akan tugasnya.

Hingga aku menemukanmu. Kau menemukanku. Pandangan kita beradu. Bersitatap. Lekat. Bagai kekasih yang merindukan kekasih. Bagai pencinta yang menemukan cintanya. Kita sahabat yang akrab, bukan begitu? Hampir setiap hari kita bersua. Bercerita apa saja, membicarakan hidup yang kadang lebih mirip lakon komedi televisi. Kadang kau menyenandungkan Akatsuki no Kuruma, sementara aku yang memainkan gitarnya. Menerbangkan mimpi-mimpi kita yang menjulang bagai puncak Fujiyama. Hingga malam menjelang, usai kita lelah berbagi kisah dan burung-burung kepodang telah kembali ke sarang, kau terjatuh lelap dalam senyap peraduan.

Rosy, kita sahabat yang akrab, bukan begitu? Namun, haruskah kita sangsi akan rasa yang tak mampu kudefinisi? Aku tahu, terkadang bagimu membicarakan cinta yang abstrak dan maya adalah tabu. Tetapi, kau tak bisa membohongi mimpi yang kau tulis sendiri, tentang kepingan masa depan di rumah pohon mungil yang ramai dengan mekar mawar-mawar, bersamaku. Meski aku paham kebersamaan itu tak akan pernah didasarkan oleh cinta seperti halnya rasamu kepada Elang Perkasa. Sahabat? Ah, sebagai sahabat, kita terlalu dekat.

Lelaki mana yang tak tertarik akan parasmu yang nirmala. Aku yakin, tak ada. Kau umpama kuntum mawar merah dengan bertumpuk-tumpuk mahkota, sungguh jelita. Lantas, apakah jika aku mengakui bahwa kau secantik permata, itu adalah sebuah dosa? Aku tahu kau masih trauma menjalin tali kasih dengan lelaki. Namun, ada binar-binar harap yang kutangkap dari kedua bola mata cokelatmu. Binar yang kemudian justru menitikkan harapan yang serupa. Atau aku saja yang salah menyangka? Masa depan yang sudah pasti terjadi adalah sebuah teka-teki tanpa petunjuk. Jika memang mimpi masa depan tentang rumah pohon itu ingin tetap kau renda, aku yakin mewujudkannya tak seindah membayangkannya dalam kesiur lamunan. Aku tak akan bisa mencintaimu selayaknya seorang lelaki.

"Kak Dayyu, apa kau memang menyayangiku?" Aku mengangguk perlahan. Kelinci mungilku yang malang, kurasa selama ini kau memang miskin perhatian. Sejak ditinggal ayahmu, ibundamu depresi dan mendekam di rumah sakit jiwa. Kau anak tunggal yang merantau sendirian. Ketika lelaki itu datang, ada buncah kegembiraan dalam hatimu sebab kau merasa telah memiliki seseorang, kau mencintai dan dicintai. Wajar saja ketika ia mengkhianatimu begitu saja, kau serasa terhempas ke jurang setelah diangkat tinggi ke awang-awang. Rengkah.

"Mengapa, Ros?" tanyaku kemudian.

"Aku takut kehilanganmu," ujarnya dengan tatapan sayu. Entahlah, nuraniku selalu luruh dengan tatapan matanya yang menghiba seperti itu.

"Tapi, kita tidak bisa bersama seterusnya," ucapku hati-hati.

Aku memang tidak bisa membohongi nuraniku sendiri bahwa aku menyayanginya. Aku kakak—meski bukan kakak kandung, juga sahabat baginya. Tetapi, jelas tidak mungkin menjadi kekasih. Mustahil. Aku justru khawatir jika kami bersama seterusnya, setitik "harap" aneh yang menggejala itu akan tumbuh bertunas lantas berurat-akar, menjerat kami dalam rasa yang tak seharusnya. Bukan kecintaan sebagai sahabat, bukan pula sebagai kakak, namun...

"Ya, setiap orang pasti dipisahkan oleh kematian. Tapi, sebelum mati, aku ingin kita hidup bersama." Ah, lagi-lagi!

"Zaman sudah sedemikian maju, Kak. Di luar sana sudah banyak yang bisa menerima cinta dalam arti luas, dan melegalkannya dalam ikatan yang jelas, tercatat di pengadilan."

Menikah? Di mana nalurimu sebagai perempuan, Ros? Kita ditakdirkan memiliki kodrat yang sama untuk mencintai dan dicintai lelaki. Atau dendam itu telah mengeruhkan naluri dan nuranimu, sampai pekat, dan tak terlihat? Well, tak ada alasan untuk mengirimmu membersamai ibumu di bangsal rumah sakit jiwa. Kau masih waras, dan aku dengan sepenuh kesadaranku sebagai manusia. Naluri kebinatangan saja tak akan pernah menyimpang dari kodratnya, kelinci jantan hanya akan mengawini kelinci betina. Kita hanya perlu mempelajari lagi bagaimana caranya menempatkan rindu dan cinta, hingga tak perlu lagi menghinakan diri lebih rendah daripada binatang paling menjijikkan sekalipun.

Jika kau menemui belakangan ini kemajuan zaman melegalkan segala cinta—meski itu menyimpang dari kaidah yang seharusnya, maka sesungguhnya zaman telah mengalami kemunduran. Lupakah kau tentang kisah yang tertulis abadi dalam kitab suci-Nya? Yang Maha Kuasa telah memberi pelajaran kepada mereka atas kesalahan mereka memperlakukan cinta, padahal apa yang ada di semesta ini diciptakan-Nya berpasang-pasangan.

Maka, perpisahan adalah sesuatu yang niscaya, meski bukan maut yang memberi jeda atas pertemuan kita. Pergilah! Kau bukan lagi kelinci lemah yang kutemukan tempo hari hipotermia di padang salju. Kau mawar yang tegar meski tumbuh di terjalnya karang bebatuan, di kejamnya gelombang kehidupan. Dan dengan duri-durimu yang menajam kau berupaya menjaga mahkota-mahkota merahmu dari tangan-tangan para pendosa.

Mawar merah terlalu berharga untuk dinodai dan dicerabut paksa, begitu pula cinta...

-Dayyu-

***

Wajah berpipi lembut itu mengusap leleran luh yang menetes ke sekian kalinya. Rona merah muda yang tersaput di pipi lembutnya luntur mengacaukan riasan. Perkataan sang pria barusan memang membuatnya tak kuasa menahan air mata. Namun, ingatan yang berkelindan tentang diari biru yang telah kusam berdebu itu lebih menggiriskan pilu. Seandainya ketika itu sang perempuan tak berulah dengan minggat begitu saja dari kehidupannya, mungkin hari ini ia tak akan duduk di sini, ditatap ratusan pasang mata yang datang, menyalami, mengucap selamat, dan membuhul doa kepada mereka berdua. Hingga, perempuan itu tak pernah datang lagi kini. Jejaknya lenyap, tersesat dalam waktu. Ah, masa lalu... Sedangkan masa kini dan masa depannya telah digariskan bersama sang pria yang tadi telah bersumpah setia atas nama-Nya. Masa lalu tak bisa diulang, ia bukan lagi kelinci malang. Ia mawar merah yang kini merekah dengan indah di pelataran hati lelaki itu, separuh agamanya.

"Sayang, ada bingkisan."

Diraihnya benda itu dari tangan suaminya. Kado pernikahan. Di sana terselip sebuah potret keluarga bahagia, dengan satu anak yang masih balita. Tertanda: Dayyuna Amanina.

Sekali lagi, kerudung perempuan itu basah oleh haru air mata.

***

(Selesai ditulis: akhir 2013. Selesai dimodifikasi: Mei 2015)



Akatsuki no Kuruma (The Dawn's Carriage) yang rilis tahun 2004 merupakan salah satu lagu pop Jepang ciptaan Yuki Kajiura yang dipopulerkan oleh Fiction Junction featuring Yuuka, dan dijadikan sebagai salah satu soundtrack anime Gundam Seed.

Surat Bergambar Kupu-Kupu (Sejumlah Cerita)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang