CHAPTER 34

5K 204 4
                                    

-Tita POV-

Kami tiba di Jakarta sekitar jam 11 malam, supir Juna sudah menunggu kami di bandara. Lou sudah tertidur nyaman dalam gendongan Juna, mereka tampak kelelahan karena perjalanan panjang selama di pesawat.

Aku juga merasakan lelah seperti yang Juna dan Lou rasakan, tapi aku harus kuat demi bayiku. Sup kental panas yang sebelumnya ku inginkan di pesawat masih terbayang-bayang di pikiranku. Anakku masih menginginkannya.

"Kita ke rumah bunda Pak" Titah Juna kepada supirnya, sekaligus membuyarkan lamunanku akan sup itu.

Aku hanya bisa terdiam, jika aku berbicara pun itu akan sia-sia. Setidaknya kehadiran anakku yang mulai tumbuh dirahimku bisa membuatku bertahan, dan mengartikan bahwa aku tidak sendiri lagi. Lou dan anak di dalam perutku ini adalah sumber kekuatanku.

"Pak, bisa kita berhenti sebentar di cafe itu? Ada yang ingin saya beli"

Untungnya aku melihat cafe yang masih buka. Demi anakku, aku akan melakukan apapun.

"Baik nyonya"

Juna masih tetap diam, tak menanggapi ucapanku. Tangannya sibuk mengelus kepala Lou, matanya melihat kearah jalanan dan tidak ingin menatapku.

Mobil pun berhenti, dengan segera aku bergegas memasuki cafe itu dan memesan apa yang aku inginkan.

Aku kembali ke mobil dengan membawa plastik kecil. Juna melihatku sekilas kemudian membuang arah pandangnya.

Ku buka kantung plastik itu dan langsung memakannya dengan perlahan. Bahagia rasanya ketika apa yang diminta oleh anakku terkabul.

***

-Author POV-

Tita tidak bisa tidur malam itu, ia merasa gelisah. Sedangkan suaminya tertidur nyenyak disampingnya. Tita beranjak untuk bangun "Kamu kenapa nak? Kenapa kamu gelisah seperti ini. Apa kamu ingin merasakan usapan ayahmu? Kamu ingin diusap oleh tangan ayahmu, hemm?" Gumamnya.

Tita melihat Juna, tidak mungkin ia membangunkan Juna hanya demi mengusap perutnya. Sepertinya anak itu ingin lebih mengenal ayahnya, ayahnya yang sama sekali belum mengetahui kehadirannya.

Isakan Tita terdengar dari arah balkon kamarnya, ia menangis ditengah malam. Sebenarnya ia tidak ingin menyembunyikan keberadaan buah hatinya kepada Juna, sampai kapan ia akan memendam itu semua? Sampai kapan Juna akan mendiamkannya? Tita membiarkan hawa dingin menusuk tubuhnya, sambil terus mengusap perutnya dan berkata 'sabar ya nak'

"Bunda disini sayang. Maaf, bunda tidak bisa mengabulkan permintaan kamu kali ini. Akan ada saatnya ayahmu akan mengabulkan permintaan kamu tapi tidak sekarang. Bunda sayang kamu nak.."

Tita tidak mengetahui bahwa perkataannya didengar oleh Juna yang sudah berada di belakangnya.

Amarah yang semula berkilat di mata Juna berubah menjadi penyesalan. Apa yang diharapkannya terwujud. Istrinya hamil, buah hati yang ia tunggu-tunggu telah hadir di rahim istrinya. Juna merasa bersalah dengan sikapnya yang mengacuhkan istrinya disaat istri dan anaknya sedang membutuhkannya.

"Sayang.." lirihnya.

Merasa terpanggil, Tita membalikkan tubuhnya. Mereka sama-sama saling terkejut. Juna terkejut melihat wajah Tita yang sudah dibanjiri air mata dengan mengenakan baju tidur tipis. Sedangkan Tita terkejut melihat Juna yang sudah berdiri dengan tatapan sendu, matanya sudah berkaca-kaca.

"Juna?" Tanyanya bingung, mengapa suaminya bisa terbangun.

"Maafkan aku sayang, maafkan atas sikapku.." ujar Juna menghampiri istrinya dan memeluk tubuh kurusnya dalam pelukannya.

"Apa anak kita baik-baik saja?"

"Ja-jadi kamu sudah tahu?"

Juna mengangguk, di lepasnya pelukan mereka dan kedua tangannya menangkup wajah istrinya. "Apa kamu mau memaafkanku?" Tita mengangguk. "Apa kamu juga maafkan ayah sayang?" Juna mengusap lembut perut istrinya.

Tita senang, akhirnya permintaan anaknya bisa terwujud. Dirinya sudah tidak merasa gelisah karena suaminya mengusap bayi yang ada di kandungannya.

"Berapa usianya? Apa dia sudah hadir sewaktu kamu terjatuh? Sayang, secepatnya kita harus periksa kandunganmu"

Tita mendengus, mengapa Juna bertanya sebanyak itu. "Usianya baru satu minggu. Dokter bilang bahwa anak kita sehat, dia anak yang kuat bahkan disaat bundanya terjatuh tapi ia masih tetap bertahan. Louis tidak akan kesepian karena adik yang diharapkannya sudah datang."

Juna memeluk Tita dari belakang sembari mengusap-usap perut Tita di balik baju tidurnya. "Maafkan aku ya sayang, aku tak bermaksud mendorongmu. Aku sangat bersyukur bisa memiliki istri yang sabar sepertimu dan memiliki anak yang kuat. Sekarang saatnya kita tidur. Apa aku bisa menjenguk anak kita?"

Tita menjerit saat Juna tiba-tiba menggendong tubuhnya, tangisan kesedihannya berubah menjadi tawa bahagia dan di malam itu bulan lah yang menjadi saksinya.

***

Andien khawatir akan keadaan Eza yang pulang dengan wajah babak belur. Dengan sabar ia merawat suaminya dan mengobati bagian luka di wajah Eza.

Ia cukup sadar diri tidak menanyakan apapun kepada suaminya, karena ia tahu Eza tidak akan menjawab apapun tentang kejadian yang menimpanya.

Eza menutup matanya menahan sakit, bukan sakit di wajahnya tapi sakit karena tidak bisa melihat keadaan wanita yang dicintainya. Ia hanya tahu kabar dari orang suruhannya bahwa Tita baik-baik saja.

"Selesai" ujar Andien membuat Eza membuka kedua matanya.

"Terima kasih" hanya kata itu yang bisa diucapkan oleh Eza.

Andien mengangguk mengerti, hati kecilnya selalu menyuruhnya untuk melepaskan Eza tapi entah mengapa sulit sekali baginya untuk melakukan itu.

"Ada yang ingin aku sampaikan"

"Bi-bicaralah"

Eza menghela nafas berat, Andien semakin takut dengan apa yang ingin disampaikan Eza.

"Maafkan aku Andien. Aku tidak bisa mencintaimu seperti kamu mencintaiku. Aku tidak bisa membahagiakanmu, justru selama ini aku selalu mengacuhkanmu. Kamu berhak bahagia, bahagia dengan pria yang bisa membalas cintamu. Tapi bukan aku..."

Apa yang ditakutkannya selama ini terjadi, Andien menggeleng sambil menangis tersedu.

"Aku ingin kita bercerai"

Kalimat itu seakan menusuk jantung Andien yang paling dalam. Apakah ini saatnya? Saatnya ia mengikuti kata hatinya untuk melepaskan Eza, pria yang sangat dicintainya.

Dipaksakan bagaimanapun, pernikahan mereka tidak akan berhasil.

"Baiklah, kita bercerai" kalimat itu serasa berat diucapkan oleh Andien.

Eza memeluk Andien yang semakin terisak. Ia tidak ingin menghambat kebahagiaan Andien. Andien berhak bahagia, ia berhak mendapatkan pria yang jauh lebih baik darinya dan bisa mencintai Andien apa adanya.

Kesetiaan Eza sungguh tak diragukan lagi. Ia masih setia dengan cintanya, walaupun wanita yang dicintainya sudah memilih pria lain. Ia akan tetap menunggu, sampai kapanpun...

***

Bersambung...

PRINCE IS YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang