Friend

7.9K 769 45
                                    

Nada-nada dari keyboard itu terus mengalun di ruang studio rekaman yang berisikan berbagai alat musik band. Pria tampan berusia pertengahan tiga puluh itu sesekali menghentikan permainannya dan menuliskan not lagu di kertas. Andra menggumamkan lagu yang baru saja dibuatnya sambil mencatat not lagu itu, kemudian kembali menekan tuts keyboard.

Produser musik itu terlihat begitu menikmati kegiatan yang sedang dilakukannya saat ini. Bahkan, ia tidak mengacuhkan panggilan beberapa karyawannya sejak tadi. Andra memang selalu seperti itu ketika sibuk menciptakan lagu. Seolah-olah dunianya sudah terserap di dalamnya, dan tidak ada satupun yang bisa dan boleh mengusik pria itu. Apalagi saat ia sedang mendapatkan ide seperti ini.

Sejak melihat Varsha beberapa waktu lalu dan merasakan jantungnya berdetak kencang, inspirasi langsung bermunculan di pikiran Andra. Setiap pria itu membayangkan Varsha, begitu banyak kata dan nada yang tercipta. Meskipun perkenalan mereka sangat singkat, Varsha sudah menjadi muse untuknya.

Sudah berjam-jam dihabiskan Andra untuk menciptakan lagu dan tidak ada satupun yang berani menganggunya.

"Om!"

Kecuali...

"Om Ara!"

....remaja satu itu.

"Om kok cuekin aku sih?!"

Andra menghentikan jari-jarinya dari menekan tuts keyboard dan menghela napas. "Ada apa, Ken?"tanyanya malas pada keponakannya, tanpa memalingkan wajahnya dari kertas yang kini sedang dicoret-coretnya.

Keponakannya yang berusia 14 tahun itu tanpa disuruh langsung duduk di sofa yang berada di sudut ruangan dan menatap Andra dengan tatapan tajam. Inginnya sih sang paman memperhatikannya dan merasa menyesal melihat pandangannya yang menusuk. Namun, Andra bahkan tidak memalingkan wajahnya untuk melihat keponakannya.

"Omm..."kali ini suara si remaja terdengar merengek.

Andra menghela napas lalu menoleh pada keponakannya. Wajah tampan remaja bernama Kenny itu terlihat kesal. "Kenapa lagi kamu?"tanya Andra.

"Papa belum pulang,"ujar remaja itu kesal.

"Papa kamu kan lagi kerja,"

"Tapi kelamaan,"keluh Kenny. Sang ayah dua hari yang lalu mendadak harus pergi ke Lombok untuk mengurus salah satu cabang cafe miliknya disana.

"Padahal Papa janji mau ajak aku ke Bogor buat ngunjungin makam Papa Brian..."

"Baru dua hari Ken,"

Kenny menjawab dengan cemberut. "Papa barusan telpon katanya dua hari lagi disana,"

"Ke makam Brian sama Mama kamu aja,"

Kenny menatap Andra muram. "Mama mana boleh ke makam Papa Brian, Om,"

Andra menghela napas mendengar jawaban keponakannya. Padahal sudah belasan tahun Brian meninggal, dan sudah 8 tahun Lily, adiknya, menikah dengan Micky. Namun, tetap saja Micky yang cemburuan tidak rela jika Lily mengunjungi makam Brian.

Micky yang merupakan ayah tiri Kenny, membolehkan anak itu mengunjungi makam sang ayah, bahkan mau mengantar. Tapi Micky selalu tidak suka jika Lily berkunjung ke makam Brian. Hal yang membuat Andra sejujurnya merasa Micky sedikit sinting. Kenapa sahabatnya itu cemburu pada pria yang sudah bertahun-tahun meninggal dunia sih?

"Asal nggak ketahuan kan nggak apa-apa,"kata Andra.

Kenny merengut mendengar ucapan Andra.

"Emangnya harus hari ini ya?"

"Harus. Mumpung hari ini libur tanggal merah. Lagian Ken kangen ngobrol sama Papa Brian,"

"Nggak ada yang lain yang bisa antar?"

Wedding DressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang