Dia pun masih berpikir sebenarnya mereka punya hubungan atau tidak. Hanya kata ANEH yang bisa menggambarkan interaksinya selama ini dengan Arland.

"Jadi daripada kamu bengong, lebih baik aku antar kamu pulang sekarang." Arland membukakan pintu penumpang di depan, di samping kemudi.

Seanna menggeram. "Mau kamu apa sih?"

"Nganterin kamu pulang," jawab Arland singkat, dengan sisa senyum di wajahnya.

"Aku kan sudah bilang tadi, kalo aku..." Seanna bermaksud mengambil ponsel dari tasnya, ide yang tercetus begitu saja. Mending naik Gojek kalau kasusnya begini.

"Apa aku harus memohon hanya supaya kamu ngijinin aku nganter kamu pulang?" tanya Arland, dengan gerakan halus memasukkan kembali ponsel yang dipegang Seanna dalam rentang beberapa detik itu kembali ke dalam tasnya.

Seanna memejamkan matanya untuk beberapa detik. Helaan napasnya terdengar berat. "Oke. Fine. Terserah kamu deh."

***

Seanna melirik Arland yang tengah mengemudi dengan santai. Santai karena kegiatan mengendalikan mobil yang kini membawa mereka menyusuri jalan lengang menuju rumahnya, dilakukan Arland sambil bersenandung mengikuti lagu Kangen yang diputar di radio. Walau senandungnya itu terdengar samar, tidak senorak yang mungkin dilakukan Seanna jika iseng konser di dalam kamar mandi. Dia akan memperdengarkan nada-nada yang diakuinya sendiri benar-benar payah.

"Kenapa?"

Eh?

"Kenapa, apa?" tanya Seanna balik sambil buru-buru memalingkan wajah.

"Kalau mau mengagumi wajah ganteng di sampingmu ini gak perlu sungkan."

Astaga. Ada cowok yang sedang kepedean, rupanya. Tidak ada yang lebih buruk dari seorang cowok yang mengakui dirinya ganteng secara terang-terangan, sekalipun...ehm...sekalipun kenyataannya memang begitu.

"Kamu punya bekas luka di atas bibir kiri kamu." Seanna menjawab.

"Kena kawat." Arland meraba bibir kirinya. "Aku kira kamu nggak merhatiin."

"Nggak. Kebetulan aja tadi." Seanna tanpa sadar melirik lagi kepada Arland, kali ini sedikit lebih lama.

Mereka tidak akan membahas topik luka karena tergores kawat di atas bibir itu untuk sekedar jadi percakapan iseng.

Seperti tidak ada topik yang menarik saja.

"Oh, ya. Seanna." Kali ini giliran Arland berbicara setelah mereka sempat sama-sama terdiam, setelah momen membahas bibir tergores kawat itu usai. "Soal ajakan nikah waktu itu, aku harap kamu nggak tersinggung. Kalau iya, aku minta maaf."

"Aku nggak mau bahas soal itu lagi."

"Tapi kamu ada rencana ke sana?"

"Menikah? Ya tentu saja." Seanna menjawab dengan gusar, dengan helaan napas yang lagi-lagi berat. "Tapi sekarang nggak dulu."

"Kenapa? Karena Ervan?"

Seanna melirik Arland. Tepatnya menoleh karena dirasakannya, wajahnya berbalik sekian derajat hingga kini fokusnya pada wajah Arland yang sedang menghadap ke depan, ke arah jalan.

"Bukan urusan kamu." Seanna menjawab dengan ketus.

"Sori."

Seanna membuang napas. Entah, meskipun dulu dia sudah bertekad melupakan Ervan, tapi tetap saja ketika ada yang menyinggungnya, apalagi menghubungkan dengan pernikahan, dia bisa jadi benar-benar marah.

Marriage With Benefits (Terbit Namina Books)Where stories live. Discover now