Mengalir

2.1K 104 2
                                    

Hari ini sedang gugur. Aku duduk dibawah salah satu pohon ditaman komplek. Aku suka gugur. Aku suka melihat daun-daun berwarna orange yang berjatuhan. Aku menyukainya. Kebiasaan ku dulu ketika sedang gugur aku, ayah, dan bunda akan berlari-lari diantara daun yang gugur. Setelah itu, kami akan duduk di kursi ini dan kepala kami menghadap langit, sekaligus melihat daun gugur. Penuh ketenangan. Sekarang, setelah 5 tahun lamanya aku kembali melakukannya, bedanya sekarang aku berlari sendiri dan duduk sendiri. Hah, ku rentangkan tanganku, kuhadapkan kepalaku keatas, aku hirup oksigen sebanyak-banyaknya seakan itu adalah oksigen terakhir. Tenang. Itu yang kurasakan. Orang tuaku sudah tiada 5 tahun lalu. Aku pergi setelahnya, aku ikut nenek dan merenung tentang apa yang ia katakan 5 tahun lalu.

Saat itu aku masih sd kelas 5. Musim gugur mengiringi kepergian ayah dan bunda. Aku menahan mati-matian sedihku, amarahku, kekecewaanku pada musim gugur. Selesai dari pemakaman aku tak pulang, aku belari ketaman ini lagi. Aku terisak, aku berteriak, aku menangis meraung-raung, aku kacau, aku...aku tak tentu arah saat itu. Aku memberantaki daun-daun musim gugur yang sudah jatuh ditanah. Aku lelah dengan ini, aku belum siap saat itu. Aku menunduk. Kupeluk kedua kakiku, kusenderkan punggungku di kaki kursi yang biasa kami pakai. Ditengah dukaku, dia datang memberiku tisu. Dia berkata, "Menagislah, seakan ini terakhir kalinya kamu menangis."
"Aku mengerti perasaanmu." lanjutnya. Kudongakkan kepalaku, kutatap dia dari bawah, kulihat dia sedang menatap langit gradasi biru putih sore ini.
"Tak usah sok mengerti."
"Apa alasanmu berkata begitu?" tanyanya masih dengan posisi yang sama.
"Karna kau bukan aku. Karna kau tak merasakan jadi aku."
"Aku memang bukan kau. Aku memang belum merasakan jadi kau dan mungkin tak akan. Tapi, itu bukan alasan untuk tak mengerti."
"Aku tak bisa menjaga mereka. Aku belum bisa membahagiakan mereka."
"Jangan menyalahkan diri sendiri."
"Memang aku yang salah disini."
"Biasanya orang-orang menyalahkan takdir."
"Kau terlalu novelis." Ku dengar kau menghela nafas pelan.
"Kau lihat daun-daun ini?" tanya sambil menunjuk ke dedaunan. "Menurutmu siapa yang salah jika daun-daun ini jatuh? Musim gugur? Gravitasi? Atau kau mau menyalahkan pohon itu karna tak mampu menahan daun? Atau menyalahkan angin yang menerbangkan daun?" lanjutnya.
"Menurutku, tak ada yang salah. Itu hanya, sudah waktunya daun-daun itu layu, tak kuat berpegangan, dan akhirnya jatuh." jawabku. Setelahnya kau hanya tersenyum dan pergi. Dan beberapa jam kemudian aku sudah berada di pesawat, berangkat ke Indonesia dan melupakan musim gugur pernah ada.

Dan sekarang aku kembali. "Aku mengerti sekarang, aku harap aku bisa bertemu denganmu lagi. Walau hanya sesaat. Paling tidak mengucapkan terima kasih."
"Sama-sama" jawab sebuah suara. Dengan senyum yang tak pernah kulupakan, aku tahu kalau itu dia.
"Selamat telah lolos cobaan Tuhan." katanya lagi. Aku tersenyum penuh makna.

Filsafat dari Seorang AnakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang