Aska

80 9 4
                                    

Kami duduk di atas meja, bercerita tentang kemana kami akan pergi setelah lulus nanti.

Aku dan Aska—bersama-sama menobatkan diri kami sebagai sepasang penunggu sekolah.

Matahari mulai terbenam dan tidak satupun dari kami yang mau peduli. Cantik, bukan tidak. Tapi senja terjadi setiap hari dan sekolah ini—tidak lagi kami akan kembali. Mulai besok hingga nanti.

Kami sedang tertawa karena satu hal, aku lupa apa yang kami tertawai tapi kurasa itu sangat lucu. Kelakar kami menggema ke ujung koridor.

Besok upacara kelulusan, semua mengucapkan selamat tinggal pada bangun jam enam pagi (kecuali Jiji yang punya toko roti, dia bahkan harus bangun jam lima pagi). Dua belas tahun bersekolah, tak ada yang terbiasa bangun pagi-pagi buta, tapi ketika tahu besok kami bebas, tak ada yang rela. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk menginap di gedung ini untuk yang pertama dan terakhir kalinya. Kami telah membawa makanan dan jubah kelulusan

Aku sudah berdoa agar malam ini langit menjatuhkan salah satu bintangnya sementara Aska berdoa agar dapat melihat hantu. Sejujurnya dalam bagian hati yang mereka juluki lubuk, kami tahu kalau kami hanya ingin menikmati hal-hal yang tak pernah kami sadari selama belajar di sekolah ini. Contohnya: kelas ini benar-benar dingin pada malam hari.

Atau betapa luasnya ruangan ini jika hanya ditempati berdua.

"Lalu kau ingat waktu celanamu sobek di jam pelajaran biologi?"

Kami tertawa lagi dan meningat betapa baju lab—yang sekarang ini kami pakai—benar-benar terasa manfaatnya.

Saat-saat seperti ini, perasaan sedih selalu mendominasi.

Ini akhir dari fase 12 tahunku, lulusanku yang paling tinggi. Semua kami akan dibuang ke kehidupan yang sebenarnya.

Aku belum siap.

"Jadi, apa kau akan kuliah?" Aska bertanya. Suaranya banyak berubah selama 10 tahun terakhir. Dia meremas-remas baju lab yang ia kenakan sambil mengadah ke atas. Suasana mulai canggung karena aku terdiam, terlalu beku untuk menyahut. Juga, aku tidak akan buru-buru menjawab pertanyaan yang sudah jelas begitu jawabannya, apa dia sedang menghinaku? Atau dia benar-benar tidak tahu?

Atau dia sedang mencari kejelasan dari: apa kami akan bertemu lagi suatu saat nanti?

"Tidak, aku akan meneruskan usaha keluargaku," jawabku akhirnya. Seperti sudah menduga, Aska hanya mengangguk-ngangguk dan memberikan satu acungan jempol padaku.

Aku memukul lengannya.

Ia tertawa lalu turun dari meja—meraih serta blanket dan tanganku untuk duduk berdempetan bersamanya di lantai. Udara jadi tak sedingin sebelumnya, aku takut air mata yang selama ini kutahan akan mencair.

"Kau sendiri?" sambil bersandar di dinding aku menanyakan pertanyaan yang jawabannya sudah kuketahui.

"Aku akan kuliah,"

"Oh," betul dugaanku.

"Kuliah apa?" kukunyah daging—atau apapun sebutannya—di dekat kuku-kukuku. Aska terlihat berpikir karena kepalanya ia arahkan ke atas. Mungkin dia cuma main-main, mungkin lehernya ngilu. Kami tipe orang-orang bungkuk yang suka menunduk. Hanya di hadapan satu sama lain kami lurus tegak.

"Aku belum tahu. Sesuatu yang berhubungan dengan obat-obatan," Oh, aku tahu, pekerjaan pamanku bekaitan dengan yang seperti itu—hampir kuucap. Tak pernah keluar dari mulutku hingga kini, karena Aska tahu, kakak ibuku itu mati overdosis bertahun-tahun lalu.

"Apa jauh?" tanyaku.

"Apanya?"

"Tempat kuliahnya,"

"Jauh," Aska mendengus sombong—seakan-akan jarak juga salah satu hal yang patut ia pamerkan seperti piala-piala olimpiade dan angka seratus.

"Sejauh apa?" balasku dengan suara yang berusaha tak peduli.

"Jutaan tahun cahaya,"

"Tidak lucu," tapi kita terkikik. Sungguh, aku tahu betul kikikan tadi bukan karena lawakan garing yang terlontar melainkan untuk menyembunyikan patah hati. Setelah sebelas tahun berkawan, akhirnya sahabatku akan dibawa lari oleh mimpi.

"Tapi benar, jauh sekali," ia tiba-tiba serius.

"Sejauh rindu?"

"Jijik," Aska tertawa saat aku mengutip salah satu kutipan buku yang ia salah beli. Buku roman remaja yang menggelikan. Kami berhenti membacanya di lembar ke sembilan, tepat ketika sang pemeran utama menembak gadis incarannya di minggu pertama bertemu.

"Berjanjilah akan pulang sesekali," kataku tulus. Kepalaku menatap lantai yang kini terlihat kabur karena air asin yang meluap semberono. Aska mendorong kepalaku kasar, membuat tangis itu jatuh, lalu ia tersentak, lalu pura-pura tidak tahu.

"Jangan janji, tak jarang aku tak menggenapi. Sumpah, agar aku dikutuk jika melanggar," Aska berucap lantang. Kukira ia bercanda, ternyata tangannya juga bergetar—sama terpukulnya denganku.

"Oke, bersumpahlah dengan darahmu," kataku lalu disetujui.

Kami lalu tertidur berseberangan pojok. Ia di tenggara, dan tubuhku di barat laut. Sedihku sudah pergi jauh—ditukar angin dengan rasa haru. Besok paginya kami terjaga lalu mengenakan jubah kelulusan tanpa mandi. Kami harum.

Tak ada bintang jatuh maupun hantu. Hanya ada dua orang dengan hubungan paling platonik yang pernah dirangkai dewa.

Sehabis melempar topi graduasi, Aska tak pernah kembali. Seyakin apapun aku dengan sumpah yang lalu. Kuteruskan usaha ayahku dan mungkin, sekarang Aska sedang berjalan pelan menuju tempat kerjanya yang baru. Aku terus berdoa supaya sumpah waktu itu tak membawa bencana untuk nasib baiknya. Juga agar dia yang berada di antah berantah, kapan-kapan, bisa kulihat bungkukan punggungnya di tengah keramaian. Tak perlu ia tahu aku disitu, bisa saja di pasar atau lebih baik kereta api, aku hanya ingin tahu seberapa tinggi mampu kepalanya raih kini. Atau mungkin dia sudah tambah gendut dan rambutnya sudah panjang? Oh, atau kulit putihnya sekarang sudah menggelap? Yah, bukannya aku ingin bertemu, aku cuma ingin tahu. Karena minggu lalu, koki hotel kota seberang datang ke rumah—melamar. Dan sore ini jika aku menjawab 'iya', aku tahu hidupku akan memasuki fase baru kembali.

Dan Aska yang kusayangi, mungkin takkan kuingat lagi.

AskaWhere stories live. Discover now