Seeking the Truth (2)

Mulai dari awal
                                    

Fang berubah siaga ketika gumpalan itu mendadak bergejolak, memisahkan dirinya menjadi bola-bola kecil yang perlahan membentuk sebuah hewan. Segerbolan gagak memunculkan diri mereka. Mata-mata merah menatap Fang.

"Kau seperti mereka...selalu menjelekkan ku...ketika berubah wujud baru di terima..." Ucap mereka. Setiap paruh tetap tertutup namun Fang bisa mendengar suara mereka dengan jelas menggema di telinganya.

"Salah kami apa?!" Fang terlonjak ketika seluruh gagak serempak melompat maju di bawahnya.

"Kami hanya ingin diterima apa adanya! Kenapa tuhan menciptakan kami seperti ini? Apakah benar ini pilihan terbaik tuhan? Kenapa kami dijelek-jeleki karena kekurangan kami? Kenapa kami diomeli hanya karena angka di kertas itu berwarna merah?? Padahal kami hanya ingin beristirahat menenangkan hati dan pikiran. Kenapa tuhan? Kenapaa?!"

'Berlebihan,' batin Fang. Benar-benar seperti Gopal. Fang memutar bola matanya dan menggerutu pelan. "Salah sendiri main terus," tentu saja nilai—Fang mengimplikasikan angka merah itu sebagai nilai Gopal—akan turun kalau waktu dihabiskan untuk 'mengistirahatkan hati dan pikiran' terus menerus.

Mendadak gerombolan burung itu berhenti berbicara dan menatap Fang dengan benci. Seluruh matanya memicing tajam ke arah si pengendali bayang. Sial, sepertinya mereka mendengarnya.

"Bukan salah kami!" Paduan suara itu membantah. Bergema dalam telinga Fang dengan bunyi yang nyaring.

"Ini salah mereka yang tidak mengerti kami!" Mereka berucap dengan benci. Bulu mereka menajam dan sayap dibentangkam lebar, memberikan efek mereka semakin besar.

"Maaf saja ya, dunia itu nggak akan berhenti berputar hanya karena satu permintaan anak manja!" Fang membalas emosi.

Ia tidak suka pengeluh. Memangnya apa yang bisa mereka dapat dari itu? Ucapan tidak ada artinya jika tidak ada upaya. Oh jika ucapan adalah segalanya maka sejak dulu ia hanya cukup mengucapkan satu kata dan dunia akan tersenyum kepadanya. Kehidupannya akan lebih pantas untuk ia kenang dan hargai setiap detiknya.

Hah. Omong kosong.

"Kalau kau ingin mereka mengerti buat mereka mengerti. Jangan diam saja, mereka nggak bisa baca pikiran."

Bayangan itu memekik tajam, berbondong-bondong mereka melesat ke arah Fang, membuat si pengendali bayang mendecih.

Yup, ia benci pengeluh.

Bukan berarti dirinya tidak pernah mengeluh. Tapi ia hanya tidak suka orang yang menyalahkan nasib buruknya lalu tidak mau berbuat apapun untuk mengubahnya.

Yah, paling tidak tambah lagi satu alasan untuk mengancurkan bayangan ini.

Fang mengumpulkan energi di kakinya dan melompat ke atap rumah di kanannya menghidari arus burung itu.

KAAK KAAK

"Huf, sudah tukang ngomel berisik pula." Fang berdecak kesal. Sulur-sulur bayang yang sudah siap menerjang melilit di jemarinya dan ketika gerombolan itu berbalik arah untuk mengejarnya Fang menyerang balik. "Tusukan jari bayang!"

Serangan Fang melesat tepat ke tengah gerombolan bayangan itu, namun dengan cepat mereka mengosongkan area yang terancam terserang dan tetap menerjang ke arah Fang.

Fang mendecih, dan segera menutupi dirinya dengan perisai bayang. Burung-burung datang bak hujan batu, menabrakan dirinya dengan kecepatan tinggi tidak peduli kerusakan yang dapat terjadi dengan tubuh mereka. Padahal Fang bisa mendengar samar sesuatu yang retak—bukan perisainya—di antara dentuman itu.

Shadow TamerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang