Di batas Dunia

13.8K 281 13
                                    

Di dekat jendela Nadya terpaku. Tatapannya hampa ke halaman tanah berumput basah. Embun yang masih betah. Ingin sekali pagi-pagi begini ia berjingkrak-jingkrak disana, bertelanjang kaki mengejar kupu-kupu, mengenakan rok yang longgar dan rambut dikepang dua. Seperti dulu bersama teman-teman kecilnya.

"Maafkan aku Nadya," kata Doni di akhir pembicaraan. Perkataan Doni itu begitu dingin. Seperti pemburu yang meninggalkan mangsanya yang sudah sekarat dan putuskan untuk meninggalkannya begitu saja. Masih terekam jelas dalam memori Nadya, di ujung jalan setapak menuju rumahnya itu. Bayangan punggung Doni meninggalkannya dan tak menoleh lagi. Mulai detik itu ia merasa hatinya telah hilang dan yang tertegun kini hanyalah boneka usang yang terkungkung di dalam gudang. Yah. Ini gudang. Ini bukan rumah, ini gudang wanita-wanita yang kalah, yang tak berdaya dan tak bisa berbuat apa-apa atas kekalahannya. Ibunya Nadya wanita yang kalah dan Nadya sendiri adalah juga gadis yang kalah.
Seberkas fajar menyinari wajah Nadya yang kaku. Hangatnya fajar hanya memicu panasnya hati.

"Kenapa tidak malam saja selamanya. Aku benci pagi," desis Nadya dalam batin. Tanpa sengaja, tatapannya kemudian menemukan sesosok manusia sedang melangkah, muncul dari sisa-sisa kabut pagi. Sepertinya berjalan mendekat. Beberapa jenis burung tampak merecoki sebuah pohon besar yang tidak begitu jauh dari hadapan rumah Nadya. Setelah agak dekat, Nadya pun mengenali sosok yang bergerak mendekatinya itu. Itu Salma, teman Nadya.

"Kenapa dia bawa koper? Apa dia kabur dari rumah lalu mau numpang bersembunyi di gubuk aku ini?? Dan menjadi koleksi baru di gudang wanita-wanita kalah ini." Rupanya Salma menemukan Nadya yang terpaku di balik jendela usang dekat pintu yang dibiarkan terbuka. Nadya seperti boneka porselen terduduk di kursi roda. Salma melambai ke arah Nadya. Terpaksa Nadya mengangkat tangan. Setelah sampai di teras rumah, Salma membanting kopernya.

"Kapan sih jalan ke sini diperbaiki," kata Salma sambil membuka jaket hitam mengkilatnya. Nadya tidak menjawab pertanyaannya. karena memang itu bukan pertanyaan yang harus Nadya jawab. Tapi yang harus dijawab adalah pertanyaan.

"Sal, ngapain kamu kesini?"

"Ngapain? Kamu gak lihat apa? Aku mau ngerawat kamu, aku kan orang yang bertanggung jawab. Kamu kan jadi begini gara-gara aku."

"Motor kamu gimana?" tanya Nadya.

"Udah, jangan ngurusin motorku, yang penting sekarang gimana kaki kamu? Udah mendingan??" Salma balik bertanya dan mendekati Nadya dan mengamati kaki Nadya yang masih separuh terbalut kain kasa.

"Ga tau," kata Nadya pelan.

"Kamu baik-baik aja kan?"

"Udah tau aku pengkor begini, masih aja nanya, hihi..."

"Aku bener-bener nyesel Nad,"

"Lagian siapa yang mau celaka," kata Nadya masih sambil mentertawakan keadaannya sendiri.

"kamu gak jadi benci ama aku kan?" Salma masih saja memasang wajah penuh sesal.

"Ngga, udah deh Sal, kamu jangan jadi lebay kayak gitu, aku nya jadi ga enak."

"Ya udah, kamu pasti belum mandi. Ayo, aku mandiin."

"Apa-apaan sih,"

"Udah jangan banyak protes, sekarang aku perawat pribadi kamu,"

"Kalo aku ga mau,"

"Ya aku paksa," tukas Salma lantas mendorong Nadya. Nadya yang tak berdaya diatas kursi roda hanya bisa meronta sebisanya.

"Nanti luka aku kena air,"
"Ya kakinya ke atasin,"
"Malu tau...."
"Lha sama-sama cewe ini, ngapain malu...."
"Gilllaaaaaa..."

Selesai memandikan, Salma mendandani.
"Tuh kan, kamu cantik kan?" kata Salma sambil mengarahkan Nadya ke hadapan cermin.

Dua Peri (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now