Bonus Chapter

15.6K 2.2K 2.8K
                                    

Tiga minggu setelah itu

Dengan kaki yang tidak henti-hentinya gemetar, Velvet sesekali mengintip tirai merah di sampingnya. Jantungnya berdegup tidak beraturan, namun sesekali bibirnya menyunggingkan senyum.

"Minum dulu," kata Trisya sambil menyerahkan segelas caramel frappe ukuran venti pada Velvet.

Velvet meraih gelas itu, meneguknya perlahan. "Ini masih kerasa kayak mimpi."

"Fase itu udah lewat, Vel. Dulu, lo mimpi. Sekarang, it literally comes true," ujar Trisya tenang. "I'm so proud of you."

"I can do nothing without you, Tris. Inget siapa yang pertama kali diem-diem ngirimin cerpen gue ke majalah sekolah?"

"Ingetlah," katanya bangga. "Gue."

Velvet lalu meletakkan gelas kopinya itu di meja kecil di sampingnya. Ia serta-merta memeluk Trisya yang juga langsung balik mendekapnya erat.

"Thank you for always supporting me from the start, Tris."

Trisya mengangguk pelan, mengelus punggung sahabatnya itu. "Yuk ke depan. Lo udah ditunggu."

Toko buku mall di bilangan Pondok Indah itu memang tidak pernah sepi pengunjung. Tapi, tidak seperti hari-hari biasanya, nyaris setengah toko itu dipenuhi antrean mengular para remaja. Di hadapan mereka, terdapat  panggung kecil dengan meja dan dua buah kursi.

Di belakangnya, terpampang sebuah backdrop bernuansa pastel dengan cover sebuah novel yang melejit hanya dalam waktu dua minggu.

Dan di sana, nama Velvet tercetak besar-besar.

Hari ini, Velvet akan menanggalkan jas putih dan embel-embel dokter gigi yang selalu melekat padanya.

Hari ini, ia akan jadi Velvet yang lain, yang juga cita-citanya sejak pertama kali belajar membaca puisi di pelajaran bahasa Indonesia di sekolah.

"Mama tunggu di belakang aja ya, Vel?" tanya sang Ibu sambil merapikan vest denim Velvet.

Velvet mengangguk. "Iya. Makasih ya, Ma."

Ibu Velvet mencium kening anaknya itu, lalu menyuruhnya cepat-cepat naik ke atas panggung mengingat book signing serta talkshow kecil-kecilan itu akan dimulai tiga menit lagi.

Sambil terus mengucap doa dalam hati, Velvet muncul dari sisi kiri panggung, menaikinya hati-hati. Sorak sorai dan tepuk tangan menyambutnya dengan hangat.

"Halo, semuanya," sapa Velvet setelah mengetuk-ngetuk kepala mikrofon. "Makasih banget udah dateng, gue ngga nyangka responnya bakal sebaik ini."

Semua yang ada di situ balik menyapa 'halo', lalu kembali mendengarkan Velvet dengan seksama.

"Jadi gue mau buka sesi tanya-jawab tentang buku ini, tapi lima menit aja ya."

Lalu, beberapa dari mereka dengan antusias mengacungkan tangan. Velvet yang tidak biasa dengan situasi seperti itu hanya bisa memilih secara asal.

"Itu, yang pake baju garis-garis kuning item," kata Velvet sambil menatap gadis yang dimaksud.

Perempuan itu kegirangan karena ditunjuk, lalu ia berteriak. "Kenapa akhirnya mutusin untuk bikin novel, kak?"

Velvet berpikir sebentar, lalu kembali meraih mikrofonnya. "Dari dulu sebenernya udah pingin banget nulis novel, tapi belom sempet gitu. Makanya nulisnya cerpen-cerpen aja. Mimpi dari kecil sih, mau punya karya."

Perempuan itu mengangguk-angguk puas, lalu mempersilakan Velvet memilih pertanyaan berikutnya.

Pilihan Velvet jatuh pada seorang perempuan tinggi bergaya hipster dengan rambut tergerai hingga punggung. "Kamu, deh."

Middle Row ♪ Hemmings | ✓Where stories live. Discover now