24

11.7K 2K 1.5K
                                    

Kabar Bimo di-drop out sudah tersebar ke seluruh fakultas.

Angga, Pandu, Manu Rios KW, dan teman-temannya yang lain adalah alasan dari mahasiswa kharismatik itu dikeluarkan dari kampus. Mereka melaporkan secara blak-blakan, dengan membawa Velvet sebagai saksi.

Lalu setelah itu, Bimo diwajibkan mengikuti beberapa tes kejiwaan. Hasil menunjukkan memang ada beberapa gangguan dalam diri Bimo. Dan karena ia bisa saja membahayakan orang di sekitarnya, jadilah ia dikembalikan ke orangtuanya dan kini rutin menyambangi psikiater barunya.

Kampus jelas saja merasa kehilangan.

Senior ganteng pujaan mahasiswa baru yang juga anggota pecinta alam itu kini sudah tidak bisa dilihat lagi batang hidungnya. Predikat mahasiswa berprestasinya kini digantikan oleh Firda, teman tutornya yang juga kaget karena Bimo ternyata semengerikan itu.

"Velvet," panggil si Manu Rios KW ketika mereka keluar dari Ruang Dekan. "Gue juga ga nyangka Bimo bisa kayak gitu."

Velvet mengangguk, tersenyum pahit. "Eh nama lu siapa sih? Gua sebenernya ga tau."

"Gue Edgar," katanya.

"Bimo tuh deket ga sih sama kalian?" tanya Velvet, sedikit penasaran.

"Deket banget," ujar Pandu. "Gue sering bahkan tidur di kamarnya. Dan dia keliatan normal-normal aja."

"Tapi akhir-akhir ini dia emang agak aneh sih, Vel," tambah Angga. "Sering ngomongin Luke."

Velvet berhenti sejenak, menatap seniornya itu satu persatu. "Gue minta maaf ya. Gue pikir kalian sama nyebelinnya kayak Bimo."

Pandu mengangguk. "Santai. Udah biasa kok kita dicap yang jelek-jelek."

"Gue minta tolong, jangan sebar berita Luke berantem ya," pinta Velvet sepenuh hati.

"Iya. Dasar pacar artis," kekeh Edgar. "Gue duluan ya. Ada kelas."

Angga menoleh. "Bukannya bareng kita?"

"Iya. Sama gue juga kok," sahut Pandu. "Kuylah."

Mereka bertiga pergi meninggalkan Velvet yang masih mematung di lorong kampus. Tiba-tiba saja, ia merasakan bahunya dicolek.

"Hei," sapa Trisya saat Velvet membalikkan badan. "Ikut sedih ya tentang kejadian Bimo itu."

Velvet tersenyum, lebar selebarnya. "Makasih."

"Gue boleh peluk lo, Vel? Udah lama banget...."

Dalam hitungan detik, Velvet langsung merentangkan tangannya, lalu memeluk badan Trisya yang ramping dengan erat.

"Gue kangen banget sama lo, Tris," bisik Velvet sambil sesenggukan.

"Sama." Trisya mengangguk. "Mau gimanapun gue ga bakal bisa beneran marah sama elo."

Lalu tangis keduanya pecah. Perang dingin itu berakhir sudah. Tidak ada lagi benci, tidak ada lagi caci dan maki.

Dua sahabat itu akhirnya membuktikan bahwa pepatah klise tentang pertemanan, nyata adanya.

"Dia masih sakit gara-gara waktu itu. Jangan heboh-heboh amat ya," kata Velvet pada Trisya saat mereka memasuki kamar Velvet.

"Ngga janji sih," kekeh Trisya.

Luke sedang bersandar di sandaran kasur, lagi-lagi menonton FTV SCTV. Ia menoleh saat mendengar derit pintu, mendapati gadisnya datang dengan seorang perempuan.

"I'm home," kata Velvet.

"Hi." Luke tersenyum pada Velvet, lalu Trisya. "And hi to you too."

"Vel," kata Trisya sambil memegangi lengan sahabatnya dengan jemarinya yang gemetar. "Vel, mati gue, Vel."

Middle Row ♪ Hemmings | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang