Epilogue

14.7K 2.1K 1.7K
                                    

Mei 2022

Sudah sepuluh menit Velvet menimang-nimang capo di tangannya. Pikirannya tertuju pada sebuah wristband berwarna silver yang sudah digunting di nakasnya, lalu sebuah lagi yang masih rapi terbungkus amplop berwarna putih.

Lelah, perempuan itu lalu melempar capo ke ranjang, lalu beranjak ke balkon kecil tempatnya menjemur pakaian —hanya itu yang disediakan pihak apartemen di setiap unit. Ia menghirup udara Jakarta yang terasa menyesakkan, membiarkan oksigen itu memasuki paru-parunya.

Ia ingin menangis.

Jika saja air matanya tidak terlanjur habis karena menangisi laki-laki yang sama setiap malam, selama setahun sejak ia pergi.

Lima tahun setelahnya, rasa sakit itu masih sama. Tapi Velvet tahu, luka itu mendewasakan.

Ia ingat sakitnya mengetahui pesan-pesannya gagal terkirim, sambungan teleponnya tidak pernah diangkat, direct message-nya melalui media sosial tidak pernah digubris.

Maka, ia menyerah, karena paham betapa sulitnya berjuang sendirian.

Setengah mati ia berusaha mengubur segala kenangan dalam-dalam, menyimpannya di bagian paling belakang otaknya. Namun yang ada, ribuan memori itu mendorongnya untuk membeli satu tiket konser 5 Seconds of Summer dari rangkaian turnya tahun ini yang bertempatkan di Jakarta.

Iya, sosok yang Velvet tunggu selama ini akhirnya kembali.

Tapi bukan untuknya.

Velvet menghela napas panjang, lalu beranjak kembali ke kamar. Diraihnya sebuah bolpoin di atas meja, lalu tangannya merobek selembar kertas. Ia menulis sepuas-puasnya untuk laki-laki itu.

Konser itu kurang dua hari lagi. Bukan waktu yang cukup bagi Velvet untuk mempersiapkan hatinya.

"Here we go again, buddy," kata Ashton seraya menoleh pada Luke yang sedari tadi menatap lurus ke luar jendela mobil, di mana Jalan Sudirman terasa lebih lengang dari bisanya.

Yang diajak bicara malah tidak menjawab, larut dalam pikirannya sendiri. Luke menempelkan dahinya dengan kaca mobil. Ia sungguh tidak tahu apa yang sedang terjadi di batinnya.

Ia senang akhirnya ia bisa menepati janjinya, ia pun rindu dengan perempuan yang satu itu.

Tapi ia merasa bersalah, merasa seperti orang paling bodoh sedunia enam tahun terakhir karena terlalu patuh.

Luke diminta berhenti berhubungan dengan Velvet dan ia, setelah perdebatan panjang, akhirnya menurut.

Sejak saat itu, hatinya tidak pernah tenang. Ada malam-malam tertentu yang ia habiskan untuk mengurung diri di kamar dan menangis sepuasnya.

Luke berantakan, tapi ia lihai bersandiwara hingga kisah ini tidak tercium media. Hanya wajah Luke yang terlihat lelah dan tatapan matanya yang kosong saat wawancara yang menjelaskannya secara tersirat.

Dan besok malam, saat band-nya tampil menghibur penggemar di Jakarta, ia sangsi akan menemukan Velvet di antara sekian bayak orang yang datang.

"She probably hates me, Ash," kata Luke pada akhirnya. "She hates me. She won't come."

Ashton tersenyum iba, lalu menepuk pundak kawannya itu dua kali. "Miracle does happen, Luke. And love is the most powerful feeling on Earth, remember?"

Luke hanya tertawa getir, kembali memandangi langit cerah Jakarta yang mengingatkannya akan mata gadisnya.

Middle Row ♪ Hemmings | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang