“bener ini rumah mak irah?saya mau ada perlu bu.”

“oh, tau darimana alamat ini neng?”

“saya tau dari teman saya namannya rega.”

“oh mas rega, sini neng masuk ke dalam.” Wanita itu mengajakku kedalam

“saya mak irah, kemarin mas rega udah telepon sama saya katanya ada temennya yang mau kesini, saya kira mas rega nya ikut neng.”

Aku masih heran dengan perkenalan mak irah, ternyata mak irah ini masih muda, belum pantas disebut emak, dalam pikiranku mak irah ini pasti sudah sangat tua renta, tapi ternyata dia seperti tante- tante pada umumnya terlihat glamour dan masih modis.

“eh iya mak, mas rega nya gak ikut, saya berangkat sendiri aja.”

“yuk masuk ke dalem, biar saya periksa dulu.”

Kami masuk ke dalam kamar yang sepertinya tempat praktek mak irah untuk memeriksa pasiennya. Aku berbaring di kasur lantai dan kaki ku di arahkan ke atas sandaran yang sudah disiapkan, mungkin memang begini cara mak irah memeriksanya. Perutku diusap nya dan di tekan- tekan seperti seorang bidan yang sedang memeriksa ibu hamil.

“ini mah neng udah 3 bulanan, mak kasih tau, semua ini Tuhan yang berkuasa, mak Cuma perantara saja, bener neng mau buang aja?” tanya mak irah sambil masih memegang perutku.

“iya mak, saya udah yakin, saya bingung soalnya, gak tau bapaknya siapa.” Jawabku pasti.

“neng, segimana kamu berusaha dan saya berusaha menghilangkannya tapi kalo bayi nya pengen hidup tetep aja hidup, jadi jangan terlalu berharap banyak yah, pasrahkan sama Tuhan. Dan setau saya bapaknya bayi ini orangnya baik kok neng, sebenernya dia mau tanggung jawab.”

Perkataan mak irah seakan menusuk jantungku, siapa ayah dari bayi ini? Apakah benar choki? Tapi aku sudah bertekad ingin membuangnya saja, aku tidak mau menanggung beban ini sendiri, bagaimana bila ini bukan anak choki? Mungkin ini jalan terbaik buatku. Maafkan ibu nak.

Mak irah memulai prakteknya, mulutnya tak berhenti mengucapkan mantra atau doa, aku tak tau apa yang dia ucapkan seraya tangannya masih di perutku, setelah dia berkomat-kamit tadi tangannya mulai menekan perutku, dipijatnya perutku dengan keras. Kurasakan linu yang amat sangat menjalar di tulang belakangku. Aku berteriak dan seolah-olah ada yang keluar dari rahimku.

“udah neng, sok ke kamar mandi dulu pakai pembalut yah.” Kata mak irah padaku

“udah mak? Gak terlalu sakit ya mak? Nanti sakit lagi gak mak? Saya harus gimana nanti.”

“itu nanti darah keluar terus neng, kalo ada yang keluar seperti daging berarti dia udah keluar.” Jawab mak irah.

Mendengar semua itu aku menangis, aku merasa bersalah, janin yang ada di kandunganku sekarang telah pergi, makhluk mungil yang ada di perutku sekarang menjadi darah. Maafkan ibu sayang, ibu tidak bermaksud seperti ini, tapi keadaan yang membuat ibu harus seperti ini.

Aku terisak pergi dari rumah mak irah sambil aku berikan sebuah amplop coklat yang berisi uang sekitar 5 juta kepada mak irah. Saat aku akan melangkah keluar, ada seorang pria dengan mobil merah terlihat buru- buru, dia rega, dia datang menjemputku.

“rena! Ngapain kamu kesini sendiri sih?aku kan mau anter kamu, aku udah nunggu di kos kamu tapi kamu gak ada, sekarang kamu gimana? Gak apa-apa?” tanya rega.

“gak pa pa ga, udah selesai kok. Kamu kesini mau jemput aku? Ya udah yuk pulang.”

Aku berjalan menuju ujung jalan tak lupa memberikan ongkos kepada tukang ojek yang sudah menungguku tadi. Kuberi dia beberapa ratus ribu. Lalu aku kembali ke mobil rega.

dosaWhere stories live. Discover now