"Aku tak ingin kau marah." Nata menundukkan kepalanya, menghindari tatapan tajam Azka.

“Sekarang jawab aku. Apakah kau mencintainya?

“Aku pernah mencintainya. Maka tak sulit untuk jatuh cinta lagi padanya. Kau sendiri yang bilang jika aku adalah wanita yang mudah menyukai orang lain.”

Walaupun hujan turun dengan deras, percakapan mereka tetap bisa kudengar. Apakah mereka memiliki hubungan spesial? Mengapa mereka terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang bertikai?

“YA KAU MEMANG SEPERTI ITU! KAU WANITA YANG MUDAH MENYUKAI ORANG LAIN, SEPERTI WANITA MURAHAN! JIKA BUKAN AKU, SIAPA LAGI YANG MAU DENGAN WANITA MURAHAN SEPERTIMU?! SIAPA YANG MAU DENGAN WANITA GILA SEPERTIMU HAH?!”

“Elha cukup.. hentikan.. kau menyakitiku.”

“PERSETAN DENGAN PERASAANMU. MULAI DETIK INI, JANGAN PERNAH MUNCUL DIHADAPANKU. AKU MUAK MELIHAT WAJAH WANITA MURAHAN DAN GILA SEPERTIMU. IT’S OVER RENATA.”  

“ELHA! ELHA! AZKAAA!”

Azka masuk kedalam mobilnya yang terparkir tak jauh dari posisinya saat ini. Dia menjalankan mobilnya meninggalkan halaman rumah dengan cepat. Sedangkan Nata masih mengejar dan memanggil namanya. Walaupun dia tau, usahanya hanya akan berbuah sia-sia.

Tiba-tiba saja, tubuh Nata rubuh dan tergeletak begitu saja di halaman rumah terguyur dengan derasnya hujan. Aku dan Bagas bergegas menghampirinya. Nata pingsan, badannya sangat panas dengan wajah sepucat mayat. Jika dia sakit, kenapa masih memaksakan dirinya untuk berhujan-hujan mengejar bajingan gila tadi.

“Bagas, kemudikan mobilku ke apartemen Nata. Aku yang akan menggendongnya.” Aku menyerahkan kunci mobilku ke Bagas kemudian mengangkat tubuh mungil Nata dalam dekapanku. Saat akan masuk kedalam mobil, seorang wanita berambut pendek dengan payung biru menghentikan kami.

“Renata kenapa? Apa yang terjadi? Kalian mau bawa Renata kemana?” Kenapa selalu saja wanita mendahulukan mulutnya dibanding tindakan mereka. Jujur saja, aku tak begitu suka dengan kebiasaan itu.

“Cepat masuk dan ikut kami! Aku akan menjelaskannya nanti didalam mobil.” Akhirnya dengan gertakan Bagas, wanita aneh itu masuk ketempat duduk penumpang dibelakang kami. Aku duduk didepan sambil memangku Nata yang menggigil dalam dekapanku. Oh Tuhan, semoga dia baik-baik saja.

“Apakah kau yang mengatakan pernikahan Nata ke Azka?” Bagas masih memfokuskan dirinya dengan jalan didepannya tanpa menoleh kepada orang yang dia tanya. Wanita dibelakangku terlihat sangat gugup saat pertanyaan itu ditujukan padanya.

“I-iya. Aku kira, Azka sudah tau. Aku hanya menunjukkan foton undangan pernikahan Nata itu saja.”

“KAU TARUH MANA OTAKMU ITU! SUDAH BERAPA KALI AKU BILANG, JANGAN PERNAH IKUT CAMPUR URUSAN MEREKA BERDUA JIKA MEREKA TAK MEMINTANYA!” 

 Suasana dalam mobil ini menjadi panas dan membuatku tak nyaman. Sebenarnya seberapa pentingnya pasangan Nata-Azka ini hingga mereka begitu menjaganya.

“Sekarang kau hubungi Azka bagaimanapun caranya. Bilang padanya jika Nata pingsan dan kita bawa ke apartemen. Setelah itu kabari Risa untuk menunggu di apartemen. Oh satu lagi, hubungi nomor dokter yang Azka berikan padamu.”

Perjalanan yang seharusnya memakan waktu 30 menit, dipersingkat oleh kemampuan Bagas menjadi 15 menit. Dia mungkin bisa menjadi pembalap jika mengendarai mobil seperti tadi. Setelah mobil terparkir dalam basement, aku berlari kearah lift sambil menggendong Nata.

My Unplanned HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang