“Lain kali jaga mulutmu agar tak mengucapkan kata-kata menyakitkan seperti itu. Karena aku semakin ingin menyumpalnya dengan bibirku. Menciummu mungkin akan menjadi hobiku..” Dia melenggang pergi setelah mengusap puncak kepalaku dengan tangan kanannya sambil tersenyum manis kepadaku. Punggung tegapnya mengalihkan duniaku yang sekarang seakan-akan terpusat padanya. Apakah aku bisa hidup dengannya? Sebuah pertanyaan baru muncul begitu saja diotakku.

          Setelah punggung tegap itu menghilang dibalik keramaian kota, aku segera memasukkan novel serta undangan tadi kedalam tasku dan pergi mengendarai motor matic kesayanganku. Tujuan selanjutnya adalah apartemen yang kutinggali bersama sahabatku. Untuk saat ini aku sangat membutuhkan ketenangan.    

         Setelah mengendarai motor selama 10 menit, akhirnya aku bisa memakirkannya dibasement dan segera  masuk kedalam lift yang akan membawaku ke lantai 5 dimana apartemenku berada. Apartement nomor 20 sesuai dengan tanggal lahirku itu yang selama ini sering kutinggali.

        Segera saja aku memasukkan kombinasi kode pembuka pintu, setelah pintu terbuka bisa kudengar suara musik salah satu boyband korea menyambutku. Didalam apartemen ini sepertinya sedang digelar konser tunggal oleh makhluk yang tengah berjoget-joget gila sambil memegang botol plastik sebagai michrophonenya, dia terlihat begitu mendalami perannya saat ini.  

“Assalamualaikum..”    

“Astaga.. waalaikumsalam. Sejak kapan kau disitu? Kau mengganggu konserku... dan aku merindukanmu.” Dengan wajah cemberut dia mendatangiku kemudian memelukku.

        Inilah yang kubutuhkan saat ini, sebuah pelukan hangat dari seseorang yang telah menemaniku selama 16 tahun. Adriana Carissa Prasetya, dengan nama panggilan Risa. Seorang gadis berumur 21 tahun yang sedang menamatkan kuliahnya dibidang fashion. Kami bersahabat sejak TK hingga sekarang memutuskan untuk tinggal bersama. Dia seseorang yang protektif dan keras kepala, tapi keras kepalanya itu tak berlaku untukku. Baginya aku adalah kakak yang paling mengerti dirinya hingga dia memutuskan untuk masuk ke SD, SMP, SMA dan Universitas yang sama denganku. Untungnya saja dia tak ikut-ikutan satu jurusan denganku, karena bisa dibilang dia tak begitu berbakat dibidang interior design.  

 “Aku juga merindukanmu..” Aku membalas pelukannya tak kalah erat. Dia melepaskan pelukanku kemudian mendudukkan diri kami di sofa ruang tengah yang sangat nyaman. Sesaat setelah kami duduk, dia menatapku dengan penuh tanda tanya dan aku selalu tak ingin dipandang seperti itu. Ku letakkan kepalaku dipangkuannya dan menidurkan diriku sambil menutup mata dengan lengan kiri membiarkan tangan kananku berada diatas perutku.  

 “Bisakah kau tak menatapku seperti itu. Kau tau aku tak menyukainya An.” Ana mengelus puncak kepalaku yang tertutup kerudung dengan lembut. Bisa kudengar helaan nafas yang cukup panjang darinya.    

“Kau selalu seperti ini. Apa yang mengganggumu kali ini? Sejak kemarin kau membalas pesanku dengan dingin tak seperti biasanya. Kau bahkan batal pergi berbelanja untuk merayakan keberangkatanmu ke Paris. Sekarang kau terlihat sangat murung, wajahmu bahkan menua 20 tahun lebih cepat Nata. Katakan padaku, aku akan menjadi pendengar yang baik dan tak akan memutusnya ditengah-tengah seperti biasanya, aku janji.”    Rasanya sangat menenangkan bisa mendapatkan sahabat ah bisa dibilang keluarga seperti Ana, nama panggilan khususku untuk sahabat cerewetku ini.

       Dia sudah hafal dengan sifatku, tapi aku selalu menyembunyikan banyak hal darinya. Aku selalu merasa bersalah saat dia sudah ingin mendengarkan ceritaku tapi aku memilih untuk menyembunyikannya.  

 “Aku akan menikah 6 hari lagi, kau harus datang ya. Untuk jadi bridesmaidku, kau bisa memakai kebaya rancangan kita kemarin.” Setelah aku berhasil mengucapkan kata-kata yang sedari tadi menyangkut ditenggorokanku, dia menarikku untuk duduk dan menatapnya.    

My Unplanned HusbandOnde histórias criam vida. Descubra agora