Cinta Untuk Matahari

1K 10 2
                                    

Kalau matahari itu terbenam selama-lamanya, akankah aku akan tetap bisa melihat senyumnya?

Dian melangkah menuju beranda belakang dengan langkah terburu-buru. Tidak, tentu saja dia tidak sedang dikejar kantib, dan tentu saja dia bukan sedang kebelet, karena kalau itu benar, dia akan menuju ke toilet dan bukannya beranda belakang. Tapi saat sampai, senyum puas tergambar jelas di wajah mungilnya. Langit dengan megahnya memancarkan sinar jingga yang menyilaukan mata. Mengantar matahari kembali ke peraduannya. 

"Ngeliatin matahari terbenam lagi?" tanya sebuah suara mengejek dari arah pagar yang memisahkan rumah Dian dengan rumah sebelahnya. Kepala seorang cowok menyembul dari sisi satunya, menampakan wajah yang sebenarnya lumayan dengan seringai yang amat sangat menyebalkan."Nggak bosen apa ngeliatin hal yang sama setiap harinya? Toh matahari terbenamnya gitu-gitu aja. Nggak tiba-tiba dia terbenam sambil joget India juga," ejek Ryan, menyebalkan.

Dengan senyum yang memudar dari wajahnya, Dian menatap tetangganya dan mulut kurang ajarnya dengan tatapan tajam yang kalau bisa membunuh, pasti sudah membuat Ryan kejang-kejang di tanah. "Kalo kamu bosen, ya nggak usah nonton. Main PlayStation bodohmu itu aja, mendingan. Daripada kamu gangguin aku mulu kerjaannya, tiap sore. Nggak bosen apa?" balasnya sama tajamnya dengan tatapan mautnya.

Ryan memperagakan gerakan orang yang tertusuk panah sebelum kemudian jatuh ke tanah dan tertawa terbahak-bahak. Dian mencibir sambil mengeluarkan alat gambarnya. Sudah menjadi kebiasaannya untuk melukis matahari terbenam setiap kali ia menyaksikannya. Dan seperti biasa, Ryan juga akan mengolok-oloknya karena kebiasaan anehnya itu.

Tapi Dian tidak akan terusik. Dia akan mencurahkan seluruh perhatiannya, dan takutnya, bersama seluruh hati, jiwa, dan raganya ke dalam lukisannya. Berkali-kali ibunya menemukan Dian seperti kerasukan ketika dia sedang melukis matahari terbenam. Tak bisa diajak bicara, bahkan ia akan kelelahan setelah menggambar dalam bentuk yang tak biasa tentunya.

Tak ada yang mengerti. Tak ada yang bisa mengerti. Bagi Dian, matahari dengan segala kemegahannya yang dilihat dan dilukisnya setiap hari itu adalah hadiah. Hadiah dari orang itu. Orang yang menjemput ajalnya ditemani cahaya jingga.

~~~

Dian berlari ke arah air sambil tertawa riang. Ia menoleh dan menampilkan senyum cerahnya yang menawan. Cahaya blitz berkilau sebentar sebelum kemudian disusul beberapa kemilau blitz lainnya. "Dean, udah dong. Mau sampai kapan kamu motret aku mulu? Aku mau ngelukis matahari terbenamnya nih," keluhnya namun masih dengan senyum riang yang sama.

Seorang cowok yang berwajah mirip dengan Dian hanya menampakan senyumnya sebelum kemudian mengambil beberapa foto dari kakak kembarnya lagi. Dean kemudian merebahkan dirinya di pasir. Tepat di sebelah Dian yang sedang mengeluarkan peralatan gambarnya. "Aku bosan ngeliatin kamu ngelukis matahari terbenam," ucapnya pelan sambil memutar bola mata. Dian hanya tersenyum sambil terus melukis tanpa mengindahkan kata-kata Dean. Namun kemudian Dean mendapat ide. Dia kemudian tersenyum jahil dan membawa kameranya berjalan menuju laut.

Saat itu pantai tampak sepi karena air laut sedang pasang dan ombak sedang ganas-ganasnya. Dean tahu itu, tapi dia tetap berjalan menjauh ke tengah laut. Hanya demi mengambil gambar dari kakak kembarnya yang sedang melukis kemegahan matahari terbenam. Namun ombak semakin kuat. Menarik Dean semakin ke tengah, ke bagian laut yang lebih dalam.

Dean menyadari bahwa keadaannya sama sekali tidak bagus. Dia ingin kembali ke pantai, tapi arus ombak terlalu kuat menariknya. Akhirnya ia melakukan satu-satunya hal terakhir yang bisa dia lakukan, berteriak sekencang mungkin.

Dian menatap ke arah laut. Ke arah ombak yang bergulung, menelan sosok adik kembarnya itu. Dalam keterkejutan, Dian menjerit minta tolong sambil berlari mendekati pesisir pantai. Melakukan apa saja demi adik adalah tugas seorang kakak. Dan kini Dian akan melakukan apa saja demi Dean untuk menyelamatkan nyawanya. Termasuk mengorbankan nyawanya sendiri.

Namun naas. Penjaga pantai yang melihat hal itu menahan Dian yang meronta sekuat tenaga. Dean tak terlihat lagi. Jasadnya tak pernah ditemukan. Lukisan matahari terbenam yang setengah jadi itu tak pernah terselesaikan. Namun Dian terus membuat lukisan matahari terbenam lainnya. Berharap dengan itu Dean akan kembali untuk mengabadikan momen yang sangat disukainya itu. Momen ketika Dian melukis. Dian tak pernah melukis apapun selain matahari terbenam. Tidak semuanya kecuali matahari terbenam.

~~~

Dian mengerjapkan matanya. Keluar dari memori penuh rasa sakit. Namun Dian merasa senang dapat mengingat kenangan itu lagi. Mengingat kenangan terakhirnya bersama Dean. Mengingat kembali kata-kata terakhir Dean. Mungkin bagi sebagian orang, kata-kata Dean akan terdengar menyakitkan, tapi Dian mengerti dan dapat memahami dengan tepat maksud kata-kata Dean. Dean memang sudah bosan dengan objek lukisan Dian, tapi ia tak pernah bosan melihat Dian melukis karena menurut Dean, Dian selalu tersenyum ketika sedang melukis.

"Di, udah selesai?" tanya Ryan masih dari halaman rumahnya hanya dengan kepala yang menyembul dari balik pagar.

"Apa pedulimu?" balas Dian. Gadis itu tak pernah benar-benar marah pada Ryan. Hanya karena satu alasan. Kata-kata cowok itu sama dengan kata-kata yang sering Dean ucapkan.

Ryan tersenyum miring. "Aku mau ngomong sama kamu, boleh?" tanyanya. Dian mengangkat sebelah alisnya, penasaran. Tapi tatapan matanya meyakinkannya, jadi dia mengangguk. Ryan memanjat pagar dan memasuki halaman belakang rumah Dian.

Dengan gerakan dagu, Dian menyuruh Ryan duduk di bangku sebelahnya. Ryan dengan patuh pun duduk di sana. "Aku mau tanya, kenapa kamu cinta banget sama matahari terbenam?" katanya tanpa basa-basi.

Jujur saja, Dian agak kaget mendengar pertanyaannya tapi dia tetap menjawab, "Karena disinari matahari tenggelam, saudara kembarku meninggal."

"Tidak biasanya orang yang punya tragedi semacam itu menyukai hal-hal yang menghubungakan tragedi itu. Tapi di lain sisi, kamu malah memuja matahari terbenam. Kenapa kamu tersenyum saat melihat matahari terbenam?" ucap Ryan lagi.

"Karena pada saat itu Dean tersenyum," sahut Dian tanpa berpikir.

"Kamu memang aneh, Di. Tapi aku suka. Tersenyumlah seperti itu setiap hari pada matahari terbenam. Aku akan lebih senang kalau kamu mau memberikan senyum itu padaku sih." Dian tersentak kaget. Wajahnya merona. Jantungnya berdegup kencang di dadanya. Ryan berlari kembali ke pagar, melompatinya dan berlari ke rumahnya.

Dian memegangi dadanya bingung. Apa itu tadi? Apa itu yang disebut cinta? Maka kalau ya, akan dipersembahkannya itu pada tentara kumbang. Dipersembahhannya cintanya pada sang matahari.

The Untold StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang