9.

3.5K 68 4
                                    

Aku mengambil duduk dan menyisir rambutku di depan meja rias. Tanpa aku sadari seulas senyum terukir begitu saja tanpa permisi di sudut bibirku.

Aku mengingat dengan jelas ekspresi Noah sore tadi. Dimana tatapannya memberikan kehangatan. Dan jangan lupa ketulusan yang seakan menguar begitu saja menghangatkan relung hatiku saat ia berucap dan menggenggam tiap jemariku!

Oh, aku memang sedikit mengacuhkannya tadi, tapi jangan salahkan aku. Ini semua salah pemikiran-pemikiranku yang terus saja bertarung sekalipun di hadapan Noah.

Ah, mari kita simpulkan bahwa ini berarti salah Noah, kan?

"Tuhkan lagi-lagi ngelamun. Mikirin apa coba sampe cowo ganteng di sebelah lo dicuekin gini?" Ia mencebikkan bibirnya, bergaya sedikit ngambek.

Tapi aku cukup tahu diri untuk mengerti hal itu. Aku tersenyum dan mengusap pundaknya sejenak.

"Yah ngambek? Yaudah gue turun," ujarku. Lalu dengan cepat Noah menarik lembut pergelangan tanganku hingga tubuhku menghadapnya.

Tatapannya serius.

"Ta,"

Kali ini dia seakan memastikanku untuk mendengarkannya. Matanya mengunciku, begitu pula dengan tangannya yang menggenggam kedua bahu, lalu turun perlahan ke sepuluh jemari tanganku yang dengan sialnya mulai dingin. Mungkin efek gugup. Dan aku rasakan pula hal tersebut pada Noah. Bahkan wajahnya memucat.

Tapi tak kunjung ada ucapan yang terlontar dari bibirnya yang mulai memutih, bahkan tatapannya jatuh ke tangannya yang menggenggam tanganku. Aku mengeratkan genggaman kami, menyadarkan Noah dari pikirannya sendiri.

Berhasil!

Dan Noah mengunciku lagi dalam pandangannya, menenggelamkanku dengan tatapan mata hitam pekatnya.

"Hm, ya, Talitha,"

Talitha.

Entah seserius apa percakapan ini hingga Noah mengatakan nama awalku dengan lengkap.

"Gue cuma mau bilang kalo lo ga mesti terus-terusan ngerasa sendiri. Ga perlu terus-terusan sedih, apalagi sampe mikir kalo lo ga pantes buat gue. Karena lo tau? Mungkin gue yang ga pantes buat lo, tapi--"

"Noah--"

"Jangan. Jangan protes dulu! Gue belom kelar ngomongnya."

Ia meremas jemariku pelan, perasaan cemas nampak menyelimutinya.

"Ya kan? Bisa aja bukan lo yang ga pantes buat gue, tapi kebalikannya. Who knows sih Ta? Lagian, siapa yang pantes buat gue, kalo lo pun ga pantes? Gue bahkan ga bisa mikirin siapa itu."

Jeda beberapa detik seakan membuatku semakin penasaran dengan kata demi kata selanjutnya yang akan Noah ucapkan.

"So Talitha, gue... gue cuma mau bilang, ga, bukan bilang. Tapi gue mau negasin ke lo kalo gue bakal ada terus buat lo. Lo jangan ragu ya sama gue?" ujar Noah panjang lebar membuatku tak bisa merasakan bahkan tulangku sendiri.

Ah, lagi-lagi karena mengingat ucapan anak lelaki bernama Noah itu hatiku menghangat dengan sendirinya.

"Ta?" ucapnya saat tak ada kata-kata yang keluar dari mulutku. Aku tersenyum hendak menangis bahagia, namun Noah dengan cepat menahannya.

Ia mengusap pipiku lembut, "Jangan Ta. Gue ga mau jadi alasan lo nangis. Lo tau? Sakit liat lo nangis kaya gitu. Rasanya sesek, tau?"

Noah Hermawan, terima kasih banyak!

***

Aku membuka bukuku untuk yang ke sekian kalinya, membuka tiap halaman yang akan kubaca mengingat besok dosen yang akan masuk adalah dosen yang tidak segan-segan memberikan kuis secara tiba-tiba.

Hey, dengan begitu mau tidak mau mahasiswanya akan belajar bukan?

Dan begitulah keadaanku sekarang, setelah membersihkan diri, aku beranjak ke meja belajarku hendak mengambil buku catatanku, itu juga kalau ada catatan dalam bukuku.

Tapi pandanganku beralih ke arah handphone yang menunjukkan layar menyala-nyala. Beberapa notifikasi masuk secara perlahan. Aku mengambil handphone dan meletakan bukuku ke tempatnya semula.

Hm, nampaknya untuk hal ini bukan untuk aku saja kan? Mengaku saja!

Aku mengabaikan beberapa notifikasi yang masuk karena ada satu pesan yang menarik perhatianku.

Satu pesan dari Noah,

Thank you for today, Ta :)

Dan senyumku mengembang dengan sendirinya. Bukankah harusnya aku yang berterimakasih? Selalu ada senyuman yang seakan tak bisa kulepaskan setelah bertemu dengannya.

No need to thanks Noah. Harusnya gue yang bilang gitu.

Sent.

Tak menunggu lama, handphone yang masih berada di tanganku bergetar dan menampilkan nama Noah di caller id-nya.

"Hai," sapanya dengan suara yang entah bagaimana bisa terdengar menggemaskan di telingaku saat ini. Aku tersenyum mendengarnya. Lalu tiba-tiba saja aku merasakan perasaan bersalah pada Noah. Terbersit untuk aku mengatakan semuanya, mungkin ini saatnya.

"Hai Noah, em, makasih banyak buat hari ini," ujarku sembari menggigit bibir bawahku, gugup.

"Ga cuma hari ini, maksud gue..."

"Ta," panggilnya.

"Hm, Noah gue serius,"

"Kapan gue pernah ga serius sama lo?"

Satu kalimat yang lagi-lagi membuatku menghangat hingga pipiku mungkin bersemu merah.

"Dengerin gue dulu, please?"

Aku setengah memohon pada Noah. Kalau tidak begini, mungkin ia akan memotong ucapanku lagi dan membuatku menjadi perempuan paling bahagia karenanya.

Ia menghela napas sejenak, sebelum menjawab, "Oke."

"Gue makasih banget sama lo, buat semuanya selama ini. Gue ga tau gimana bisa lo kaya gitu sama gue. Iya, sama gue! Yang gue aja kadang ga welcome sama lo. Sama gue yang kadang ga peka. Sama gue yang kadang masih hidup di masa lalu. Gue, gue ngerasa bersalah sama lo. Lo tau ga sih?!" Emosiku bermain di saat yang bersamaan.

Pikiran-pikiran itu mengusikku.

Dan aku harus menyelesaikannya, mungkin saat ini.

***

Kamu.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang