5.

5.4K 74 2
                                    

Aku menaikkan selimut yang berada di bawah kakiku. Membiarkannya menenggelamkanku hingga kepala.

"Kamu kenapa Ta?"

Suara itu.

Kupejamkan mata semakin rapat. Aku... entahlah apa yang aku harapkan. Apa aku mau suara itu pergi, lagi? Atau aku dengan egois memintanya tetap?

Tes.

Tanpa sadar sebulir air menetes dari sudut mataku. Kenapa aku menjadi terlihat sangat lemah? Perlahan tapi pasti, aku meluruhkan selimutku hingga sebahu. Mendekapnya erat seperti guling. Menghapus setetes air dari pelupuk mataku. Tidak akan ada lagi tetes-tetes lainnya.

"Kenapa kamu keras kepala begini?"

Aku menghela napas. Tak berniat membuka mata. Bahkan aku takut harum tubuhnya menghilang seperti hari lalu. Aku fokus memberikan titik nyaman pada tubuhku. Kupeluk erat selimut, membiarkan kantuk menyelimutiku.

Aku menegang seketika saat aku merasakan usapan lembut di pucuk kepalaku. Dengan kikuk aku membuka mata, mendapati Nicho mengusap rambutku lembut. Juga senyumnya.

"Jangan begini. Aku sedih."

"Aku sedih saat tau kamu terus menangis dan penyebabnya tak lain adalah aku," lanjutnya berbicara tepat di manik mataku.

Aku menghambur cepat dalam peluknya. Tak berucap sedikitpun. Bahkan tak sempat melihat reaksinya. Tanganku melingkar mendekap pinggangnya. Mengeratkan pelukanku, takut kehilangan. Kurasakan usapan di punggungku, menenangkan. Perlahan aku mengatur napasku. Memejamkan mata dan berusaha menikmati waktu yang terus berjalan di antara pelukanku. Aku menenggelamkan wajahku pada dadanya.

"Aku ga nangis. Aku cuma kangen kakak."

"Aku tau."

***

Aku bangun dari lelapku. Selimutku hilang dari dekapku. Tapi bahkan angin yang berhembus dari pendingin ruangan di kamarku tidak berhasil membuatku mengigil. Aku merasa hangat.

Terima kasih, Kak.

Aku tersenyum hambar karena hal itu. Dia bahkan sekarang sudah tidak ada di hadapanku. Mungkin sejak lama.

***

"Anak gadis baru rapi jam segini? Ckck," sahut Kak Temmy saat melihatku berjalan gontai menuruni tangga rumahku.

"Apaan sih lo kak? Tumben belom jalan ke kantor?" tanyaku saat kulirik jam dinding menunjukkan pukul 8 pagi.

Ia menyuap sarapannya lagi lalu menjawab saat aku mengambil kursi di hadapannya, "Lo mau berangkat bareng siapa?" tanyanya mengacuhkan pertanyaanku sebelumnya.

"Menurut lo sama siapa? Papa kan udah jalan ke Batam," jawabku sembari mengambil setangkup roti dari hadapanku.

Aku menatap kakakku satu-satunya yang berada di depanku dengan tatapan seakan berkata, 'Yang bener aja, masa lo lupa kalo bapak lo udah ke Batam seminggu lalu?'

Kak Temmy meneguk air mineral dalam gelas di hadapannya. Lalu menuang lagi karena dirasa masih haus.

"Ck, gue belom kelar ngomong elah. Tuh liat di teras. Noah di sana sama mama lagi diajak ngobrol. Nungguin lo," jawabnya santai.

"No-noah?"

Aku kebingungan dibuatnya. Sejak kapan?

"Lama lo! Cepetan telen roti sama susunya!" ucapnya memerintah tak terbantah lalu berlalu pergi dari ruang makan.

Aku mencekal lengannya membuatnya berbalik lagi menghadapku.

"Apalagi sih dek? Udah siang nih. Mau jalan sama siapa? Gue mau nyiapin mobil nih."

Kamu.Where stories live. Discover now