1.

19.2K 205 7
                                    

Aku menyibak gorden berwarna biru yang menutup kaca jendela kamarku, membiarkan seberkas cahaya matahari dengan lihai menerobos masuk untuk memberikan kehangatan pada insan manusia di dalam kamar.

Aku menekuk lututku dan bersimpuh sembari mengatupkan kedua tanganku. Mataku terpejam. Pikiranku terfokus untuk berbicara mengucap syukur pada sang Ilahi. Setidaknya aku masih bisa menjalani hidup hingga detik ini.

Tok.

Tok.

Tok.

"Ta?"

Aku berpamitan pada Tuhan sebelum bangkit berdiri dan membuka pintu kamarku dengan senyum. Mama berdiri di ambang pintu kamarku sembari tangannya menggenggam segelas susu putih hangat dan tangan lainnya membawa sepiring roti.

"Mama, kenapa dibawa ke sini?" Aku mencium pipi mama sekilas dan mengambil alih gelas serta piring dari tangannya.

Mama menghela napas sebentar sebelum berkata, "Mama cuma khawatir. Tapi rasanya kamu sudah lebih baik. Mama ke bawah lagi, mau nyiapin sarapan buat yang lain."

"Ini udah satu tahun ma. I'm okay," jawabku sekenanya.

"Iya, satu tahun. Dan lusa satu tahun dia izin pergi sama kamu kan?"

Aku mengalihkan pandanganku dari mata hitam mama. Aku hendak melangkah kembali ke kamar sebelum mama kembali memanggilku. Aku menoleh saat mama berkata, "Jangan nangis lagi. Luntur cantikmu nanti!" Aku tersenyum hangat.

***

Aku melangkahkan kakiku ke arah kelas sebelum panggilan menghentikan langkahku, "Ta!" Aku menoleh dan tersenyum padanya.

Lelaki dengan rambut gondrong, sebahu agak acak-acakan. Dengan kaus putih bertuliskan 'Avenged Sevenfold' dilapisi kemeja kotak-kotak merah dan celana jeans belel. Kulitnya putih bersih walau ia nampaknya belum sempat bercukur pagi ini, namun kharismanya tak tertutup begitu saja.

"Ada kelas pagi ya?" tanyanya yang ku jawab dengan anggukan kepala dan menatapnya yang tak kunjung memberi respon apapun selain meringis.

"Noah? Udah ga ada lagi yang mau ditanya? Dosennya udah di ujung lorong tuh. Nanti gue terlambat," ucapku memecah pikiran Noah.

Noah. Dia yang memanggilku.

Noah melirik ke arah dosen yang sedang berjalan di ujung lorong sana, melangkah semakin mendekat. Ia merapikan rambutnya yang sedikit gondrong, lalu berkata dengan nada yang menurutku sedikit canggung, "Nanti makan siang bareng ya. Gue tunggu disini. Bye!"

Lalu Noah pergi dengan langkah sedikit berlari. Sedangkan aku mencari tempat duduk yang masih kosong dalam kelasku sebelum dosen tiba.

"Ciye, makin deket aja sama Noah," celetuk salah satu temanku di universitas ini, Mandy.

"Lo cemburu?" tanyaku di sela senyuman dengan memandangnya, memastikan.

"Gila! Ya kali. Gue seneng kalo lo punya pacar. Gue ga pernah liat lo deket sama cowo mana pun sejak kita kenal di sini, sejak semester satu."

Mandy menatapku serius, "Gue percaya Noah laki-laki baik."

Aku menyetujui perkataan Mandy dalam hati. Tapi bagaimana bisa? Bahkan hatiku terasa terikat dengan seseorang yang entah ada dimana saat ini.

***

"Hey Ta!"

Aku menoleh dan mendapati Noah yang duduk di lantai sebelah pintu kelas, segera bangkit saat melihatku keluar. Ia menepuk bagian belakang tubuhnya untuk memastikan bahwa tidak ada bagian yang kotor.

"Makan siang bareng? Gue yang traktir? Gimana?" serunya cepat sembari mengalungkan kembali tas selempang miliknya pada salah satu bahu.

"Dalam rangka apa nih? Pajak jadian ya? Ciyeee! Sama siapa?" godaku tepat di depan wajahnya yang kini tengah memerah, entah karena apa, mungkin malu.

"Yaelah Ta, mau di traktir aja banyak nanya. Sana, sana. Noah jangan nyesel ya, dia makannya banyak!" ucap Mandy setengah mengusirku.

"Jadi?" tanya Noah menunggu jawabanku.

"Udah diusir Mandy. Jadi, ayo!" jawabku sembari menepuk punggungnya lembut, menyuruhnya untuk jalan terlebih dulu di depanku. Dia tertawa.

Sedetik kemudian Mandy menarik tanganku pelan, "Jangan bikin anak orang patah hati ya!"

Aku mengibas-ngibaskan tanganku di hadapannya, "Siapa gue deh sampe bikin anak orang patah hati?"

Aku berlalu meninggalkan Mandy yang menatapku dengan tatapan seakan berkata, 'Gue serius, Ta.'

***

Dan disinilah kami, aku dan Noah, duduk di kantin, yang jujur saja jarang ku kunjungi. Kenapa? Simple. Aku tidak suka suasananya. Terlalu ramai untuk urusan yang tidak jelas. Sedikit mengganggu suasana hati. Terlebih dengan adanya asap rokok.

Huh. Aku menarik napas setelah mendapat tempat duduk. Noah di hadapanku dan memperhatikanku, sepertinya. Aku mendongak, menghadapnya yang masih berdiri dengan kedua telapak tangan menopang tubuhnya di meja.

"Lo ga nyaman ya di kantin? Mau pesen makan aja trus pindah?"

Aku berpikir sebentar, namun sebelum ku jawab pertanyaanya, ia kembali membuka suara.

"Mau makan sama minum apa? Dan please, jangan bilang samain aja sama gue. Ini tiga kali gue ngajak lo makan siang bareng dan jawaban lo selalu gitu," katanya sembari tertawa kecil namun tegas.

Aku memasang muka berpikir, namun tak elak ia kembali membuka suara, "Ayo cepet, jangan kelamaan mikir. Ini bukan ujian, Ta."

Aku mendengus mendengarnya lalu menjawab mie ayam baso dan es jeruk untuk pertanyaannya. Ia berlalu pergi, lalu tak lama ia kembali.

"Ayo pindah. Deket danau aja makannya. Disana udara lebih bersih daripada disini."

Ia melangkahkan kakinya lebih dulu, membiarkanku berjalan lebih cepat untuk menyamai langkahnya.

***

Kamu.Where stories live. Discover now