Part 3: Tea Time With President

3.7K 386 39
                                    

Erick mengecek ponselnya dan mendapati e-mail balasan dari Ren. Dia tersenyum begitu melihat bahwa mereka setuju untuk datang ke istana negara. Sebenarnya Erick mengira bahwa Ren dan teman-temannya tidak mau datang.

Suara derap langkah orang berlari terdengar. Erick melirik sebentar, lalu mendengus kesal.

"Kenapa kau lama sekali, James?" tanyanya.

James menarik napas beberapa kali, keringatnya bercucuran dari kening. Bahkan dia sampai menggunakan selembar kain sebagai saputangan.

"Kau pikir menembus kerumunan wartawan itu mudah? Mereka sudah seperti sekumpulan lebah di gerbang sana!" balas James, emosi. Kemudian dia berjalan mendekati Erick yang sibuk membuka pakaian korban.

"Dapat sesuatu?" tanya James, seraya ikut membantu Erick menyingkirkan kabel yang melilit tubuh korban. Aliran listrik menuju kabel yang melilit sudah diputus oleh satpam gedung DPR.

Erick membalasnya dengan gelengan kepala. "Kosong. Sama sekali tak ada sidik jari, tak ada saksi mata, juga tak ada bukti."

James memotong kabel yang melilit di leher dengan gunting. "Bagaimana dengan CCTV?"

Erick berdiri sambil menepuk-nepuk lututnya dengan tangan. Dia berbalik dan menunjuk kamera CCTV yang rupanya dipasang di salah satu dahan pohon. "Kamera itu ditembak dengan Rifle. Tak salah lagi, pelakulah yang menembaknya."

James menghela napas berat. "Kita seperti mengejar hantu."

Erick melirik rekannya itu, senyum muram tercetak jelas di wajahnya. "Kau benar, dia seperti hantu." bisiknya, lirih.

*****

Erick, James, Andi, dan Roy berjalan dengan langkah ragu-ragu di halaman istana. Ini pertama kalinya mereka datang ke markas sang Presiden. Dengan dipandu sang sekretaris, mereka berempat masuk ke dalam gedung. Interiornya sangat sederhana. Tidak ada lampu gantung sebesar parabola, tak ada wallpaper berwarna emas yang melapisi dinding, juga tak ada patung atau hiasan di sana. Yang ada hanyalah meja penerima tamu, dua pot bunga yang ditanami bunga anggrek, dan karpet berwarna biru langit.

Sangat-sangat sederhana. Bahkan James sampai melongo sejak tadi. Mengingat betapa sederhananya pemimpin negara ini. Erick melirik ke sekeliling. Si sekretaris tadi sudah undur diri karena dia ada urusan di tempat lain. Mereka disuruh menunggu di depan sebuah pintu cokelat yang merupakan pintu ruang kerja Presiden.

Erick tersenyum begitu mendengar tawa yang lepas menggelegar bagaikan sambaran petir dari dalam ruangan. Tawa yang begitu khas baginya. Sedangkan James, Andi, dan Roy mengernyitkan kening masing-masing. Mana mungkin orang penting seperti Presiden tertawa keras seperti orang yang tak tahu malu?
Erick mengetuk pintu cokelat itu, membuat tawa di dalamnya terhenti.

Seorang pria muncul dari balik pintu tersebut. Rambutnya berwarna biru malam dengan potongan pendek. Pupil matanya yang sewarna dengan rambut itu menatap ke empatnya dengan ekspresi heran. Pakaian yang dipakainya bukanlah jas hitam lengkap dengan dasi. Melainkankan kemeja hitam dengan celana jeans berwarna biru yang warnanya agak pudar di beberapa tempat. Tanda bahwa celana itu sering dipakai.

"Kalian siapa?" tanyanya, heran.

Erick menepuk kening dengan frustasi. "Aku bisa saja pulang dan kembali dengan sebuah palu gada untuk memukul batok kepalamu yang keras itu." bisiknya lirih, berusaha sebisa mungkin agar tak terdengar James dan yang lain.

Mata Antariksa berputar dengan jenaka. "Maafkan saya, hanya berusaha melucu di saat yang tidak tepat." ucapnya. Lalu dia berbalik dan membukakan pintu untuk Erick dan teman-teman.

A Black Fox (END)Where stories live. Discover now