Aira terkesima memandangku dan tertawa sambil menepuk tanganku. "Wooo, orang cuma bercanda doang. Serius banget sih lo, Demas." Aira menyilangkan tangannya didada, "nggak asik ah, ambekan," lanjutnya.

Gantian aku yang tertawa. "Hahaha. Nah kan, siapa yang ambekan?" sindirku lagi dengan tatapan jahil. Geli sekali melihat tingkah Aira seperti ini. Aku tak menyangka dia ternyata orang yang ramah dan mudah akrab dengan orang lain.

"Eh, lo di sini sendirian, Ra? Nggak sama Firza? " Tiba-tiba saja mulutku mengucapkan kalimat tanya ini.

Wajah Aira langsung terlihat sedih saat mendengar pertanyaanku. Raut kecewa jelas terpampang saat dia menundukkan kepalanya. Bodoh sekali. Aku langsung merasa bersalah saat itu juga. Baru saja berkenalan dan mencoba untuk akrab, tetapi malah bertanya hal yang sensitif.

Aira mendongakkan kepalanya sambil membuang napas. "Nggak, gue udah putus sama Firza," ucapnya dengan nada sedih.

"Ups, sorry to hear that." Aku langsung meminta maaf.

"Hahaha. Nggak apa-apa. Selama ini ternyata gue nggak bisa jadi seperti yang dia pengin," ucap Aira. Air mukanya terlihat seperti ingin menangis.

"Setau gue, bukannya cinta itu saling menyesuaikan dan saling melengkapi ya? Bukan banyak menuntut agar jadi orang yang dipenginin," ucapku bijak.

Aira terdiam mendengar aku mengucap kalimat itu lalu mengangguk mengiyakan. Sepertinya dia merasakan sakit yang teramat dalam setelah putus dengan Firza. Terkadang cinta yang terlihat sempurna pun ada kurangnya. Selama yang kulihat selama ini Aira dan Firza terlihat baik-baik saja, bahkan seperti pasangan yang akan bersatu selamanya. Ternyata dugaanku salah.

Cinta bukan tentang 'Aku pengin kamu tuh begini,' atau 'Kamu tuh harusnya begitu'. Cinta itu seharusnya saling menerima kekurangan dengan ikhlas bukan dengan terpaksa atau ada syaratnya. Bukankan memang tak ada yang sempurna di dunia ini? Jika memang ada, mungkin Romeo dan Juliet bukanlah legenda, karena akhirnya kisah cinta mereka akan berakhir bahagia. Bukan dengan bunuh diri bersama.

Aku menyayangi Aira meski tak pernah sekalipun berbicara banyak atau sering bertegur sapa. Tidak pernah. Rasa sayang itu mengalir tulus dengan sendirinya tanpa permintaan macam-macam, selain dilihat dan dibalas. Meskipun pada akhirnya balasan yang diterima tidak seperti yang diharapkan. Cinta itu banyak memberi dengan kesadaran diri, dan sedikit meminta sesuai dengan porsi dan kapasitasnya.

Seseorang yang kita miliki bukanlah lilin mainan yang bisa dibentuk sesuka hati. Bukan juga seorang budak yang bisa disuruh ini-itu. Tapi seorang yang kita miliki adalah seseorang yang seharusnya kita jaga, kita sayangi, kita lindungi, dan kita kasihi dengan kesadaran diri. Jika dia memperjuangkanmu dengan keras, kau harus memperjuangkannya lebih keras dari takdir. Jika dia mempertahankanmu dengan gigih, maka kau harus mempertahankannya hingga seluruh tulangmu hancur. Seharusnya begitu. Tidak ada tuntutan karena kau tulus mencintainya, bukan memanfaatkannya.

"Sabar ya, Ra. Mungkin Firza lagi pusing atau banyak masalah makanya dia begitu," ucapku sambil mengusap punggung Aira.

Aira mengangguk dan memaksakan sebuah senyum. "Iya, thank ya, Demas. Mulai sekarang panggil gue Ai, ya. Oh iya, gue harus cabut nih soalnya adik gue udah nunggu di bawah. Gue boleh minta nomer lo?"

"Boleh, pasti mau curhat ya? Hahaha. Nih catet ya," ledekku sambil mengucapkan beberapa digit nomor telepon. Oh Tuhan, aku ingin sekali menghiburnya jika saja dia tau perasaanku saat ini yang sama sedihnya. Aku tidak tega dan tidak mau melihatnya seperti ini. Seperti bukan Aira yang ceria seperti yang kulihat biasanya.

"Sip, gue cabut, ya, Mas," pamit Aira lalu menepuk pundakku.

"Iya, hati-hati di jalan ya, Ai," balasku sumringah.

Jatuh Cinta Diam-DiamМесто, где живут истории. Откройте их для себя