[8] Zev - Before The Tournament (b)

Mulai dari awal
                                    

"Baiklah." Zane, gadis berambut merah yang merupakan satu-satunya perempuan selain Ilessa di kelompok ini mengulurkan tangannya ke tengah. "Tim?"

Semuanya saling melirik, tidak paham akan maksud uluran tangan Zane. Aku berdecak dalam hati karena kepolosan mereka. Aku ikut mengulurkan tanganku, meletakkannya di atas punggung tangan Zane. "Tumpuk tangan kalian di sini. Ini yang biasa dilakukan sebuah kelompok untuk menandakan kekompakkan mereka," jelasku.

William kemudian menaruh tangannya, diikuti oleh Haynes, Ilessa, dan terakhir Garrick. "Tim?" Zane mengulang pertanyaannya.

"Tim." Kami menjawab bersamaan.

Selama lima detik yang canggung kami bergeming dalam posisi ini, kuputuskan untuk menarik diri lebih dulu. "Sudah dulu basa-basinya, ayo pergi sekarang."

Garrick mengangguk menyetujui. Ia berjalan mendahului kami melintasi halaman belakang panti asuhan yang sedari tadi sudah sepi karena para setengah gargoyle lain telah lebih dulu melaksanakan perburuannya.

Sebagai preman yang sudah sangat mengenali daerah ini, aku tahu lokasi kami tidak terlalu jauh dari panti asuhan. Mungkin hanya memakan waktu sekitar duapuluh menit atau kurang, namun perjalanan tetap terasa begitu lama dan membosankan menyadari bahwa kami hanya berjalan biasa. Maksudku, bukan berjalan sambil mempertahankan posisi agar tidak terlalu dekat tetapi juga tidak terlalu jauh dari target yang hartanya menggoda untuk dirampas. Kehidupan preman jalanan memang berwarna.

Suara obrolan ringan kudengar berasal dari Ilessa dan Zane. Bukan obrolan yang melibatkan cekikikan dan sejenisnya, hanya perbincangan singkat mengenai nama dan pendapat mengenai turnamen.

Ternyata tidak ada anggota yang sudah saling kenal dekat di kelompok kami.

Akhirnya, setelah melalui detik demi detik yang membosankan, kami sampai di tempat tujuan. Hal pertama yang terlintas di pikiranku setelah melihat jalan ini adalah: Gazeel benar. Beberapa mobil polisi dan sekitar tiga mobil ambulans tampak berbaris di pinggir jalan. Orang-orang berseragam putih lengkap dengan masker steril mereka sibuk menggotong mayat-mayat yang telah ditutupi kain ke dalam ambulans. Para polisi sendiri lebih banyak mengawasi, walau ada sedikit dari mereka yang terlihat sedang berkomunikasi lewat alat bernama handy talkie.

"Aktifkan mode gargoyle kalian," kata Garrick.

Sebelum orang-orang itu melihat kita dan bertanya macam-macam, lanjutku dalam hati. Aku memejamkan mata sebentar, lalu setelahnya aku sudah dalam mode gargoyle. Jika kau tanya bagaimana rasanya berada dalam mode ini, maka jawabanku adalah tidak ada rasanya. Mungkin kau bisa merasakan sedikit angin 'perubahan' yang berhembus di sekelilingmu, atau kekuatan yang bergejolak di perutmu serta dorongan energi yang mendadak kau rasakan. Namun selain itu tidak ada apa-apa. Baiklah, memang ada rasanya, hanya saja tidak semenakjubkan yang kau bayangkan.

Sekarang tinggal satu hal yang belum lengkap. "Mana iblis-iblis itu?" tanya Haynes, menyuarakan isi hatiku.

"Jangan dicari," sahut Zane, "Mereka akan datang sendiri."

Benar saja. Tak sampai dua detik usai perkataan Zane, segerombol iblis Penghisap mewujud dari bayang-bayang di sekitar kami—sisi gedung, tiang lampu, pepohonan, sampai plang nama jalan.

Semua bersiap dengan senjatanya masing-masing. Garrick dan William dengan pedang, Haynes dengan busur, Ilessa dengan tombak, Zane dengan belati, dan aku dengan ... dengan kedua tanganku.

Kami menunggu sampai semua iblis Penghisap di Spener Strasse benar-benar telah hadir seluruhnya. Barulah setelah itu, Garrick menyerukan aba-aba untuk menyerang.

Sebagian besar iblis Penghisap mulai disibukkan dengan keempat rekanku, tetapi hampir semua iblis Penghisap bersayap melesat ke arah yang berlawanan—arah dimana polisi-polisi dan petugas ambulans itu berada. Sial, mereka mengincar manusia.

Haynes berhasil membidik dua dari tigabelas iblis dengan anak panahnya. Lalu kudengar Garrick berteriak, "Haynes dan Zev! Urus para iblis Penghisap bersayap, jangan biarkan mereka mendekati manusia!"

Satu panah diluncurkan lagi. "Mengerti!" balas Haynes.

Waktunya pertunjukan.

Di bagian tubuhku yang paling dalam dan sensitif, sesuatu tiba-tiba meledak, menyebarkan sensasi terbakar yang entah bagaimana terasa sangat hidup. Sangat kuat. Aliran energi melimpah membanjiri sekujur tubuhku, terutama di bagian punggung bagian atas, tempat kekuatanku berpusat.

Kurasakan indra pengelihatanku meningkatkan ketajamannya, segala hal menjadi begitu jelas sampai aku bisa melihat pantulan diriku di badan anak panah Haynes yang terbuat dari besi ketika benda tersebut dilontarkan ke langit.

"Zev, di atas!" Ilessa berseru memberi peringatan. Sejujurnya, itu tidak perlu.

Kobaran api berwarna biru yang asalnya dari punggungku sudah menghanguskan iblis itu sebelum ia sempat menyentuhku. Kemudian, api lain di sisi punggungku yang satunya menyusul untuk muncul, berkobar seterang kobaran pertama. Kedua kobaran itu mulai mewujud, membentuk diri mereka menjadi sepasang sayap dari api.

Seringaiku sudah tidak bisa ditahan lagi saat mendongak untuk melihat para iblis Penghisap di angkasa itu menampilkan ekspresi terkejut mereka. "Ini wilayahku," ujarku seraya membunyikan jari-jari di tanganku yang telah mengepal, "Kulakukan apapun untuk mempertahankan apa yang sudah menjadi hak milikku."

Aku melompat dengan gesit ke arah salah satu iblis, mencabiknya dengan apiku lalu berpindah ke iblis lain dan melakukan hal yang sama hingga aku yakin tak ada satu pun iblis Penghisap bersayap yang terlewat. Semuanya lenyap dalam waktu kurang dari dua detik.

Sekembalinya ke tanah, terjangan mendadak dari iblis Penghisap setinggi dua meter langsung menyambutku. Aku tentu masih tak kalah cepat untuk dapat memblokir serangannya dengan salah satu sayapku. Walau terbuat dari api, sayap ini tidak dapat ditembus jika aku menginginkannya berfungsi sebagai tameng dan bukan senjata. Karena perubahan fungsi itulah yang menyebabkan si iblis tak langsung terlalap seperti teman-teman kecilnya kendati telah bersentuhan langsung dengan sayapku.

"Ups, kesalahan fatal." Aku tersenyum mengejek ketika kedua sayapku membungkus tubuh iblis itu dengan kobaran api raksasa, menghanguskannya dalam sekejap. Iblis tidak bisa mati dengan api? Siapa bilang?

Nah, sampai di sini, Anak-Anak, apa ada yang bisa mengatakan pelajaran apa yang dapat kalian petik dari aksi di atas? Benar sekali, jangan macam-macam dengan Senjata Terkuat Empire dari Berlin. Ia sangat rentan terbakar.[]

(*Strasse berarti Street dalam bahasa Inggris dan Jalan dalam bahasa Indonesia)

Empire: The Fallen AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang