Four

771 72 28
                                    

Pria itu berdiri dengan tegap di puncak sebuah mercusuar yang pondasinya mulai lapuk termakan usia.

Rambut keperakkan pria itu bermandikan cahaya matahari senja, setelan hitam yang dipakainya juga memantulkan cahaya jingga yang sama.

Tangan pria itu dimasukkan ke dalam saku celana hitamnya, tangan yang telah menghabisi nyawa jutaan manusia.

Ia tersenyum memandangi langit yang kosong, senyumannya hampir terlihat tulus. Namun, aura kegilaan dapat terbaca dengan samar di balik senyuman tulusnya itu.

Julukan Dewa Kematian rasanya tidak cukup untuk menggambarkan kekejaman pria ini.

Seseorang yang dapat memanipulasi siapapun yang ia temui, memainkannya layaknya boneka untuk kepentingannya sendiri.

Seseorang yang tak ragu-ragu jika ia harus membunuh rekannya sendiri.

Seseorang yang tidak punya rasa belas kasih, rasa bersalah, rasa kesedihan, atau emosi lainnya.

Ia hanya bisa merasakan dua hal.

Kebahagiaan dan Amarah.

Kebahagiaan diperolehnya ketika darah membasahi tangannya, melumuri wajahnya, ketika kematian terjadi.

Amarah ia rasakan setiap kali ia tidak merasa bahagia. Amarah ini memberinya dorongan untuk membunuh, untuk membuat semua orang menderita, yang pada akhirnya akan memberikan kebahagiaan untuknya.

Namun yang paling menarik dari pria ini adalah...

"Lucile," ucapnya dengan nada yang amat lembut, "bawakan aku segelas wine."

Kemampuannya untuk menyembunyikan kedua hal itu.

* * * * * *

Adrien nampaknya tidak terlalu banyak berpikir soal konsekuensi dari hal-hal yang ia lakukan. Sebab sekarang, lebih banyak penjarah mutan yang datang dan mengerumuni dirinya.

Evelyn dan anak-anak nampaknya telah berada di dalam terowongan dengan selamat. Hal itu setidaknya bisa membuat Adrien sedikit lebih fokus ke masalah yang tengah ia alami saat ini.

Satu demi satu Mutan berdatangan, menggeram dengan suara yang terdengar seperti perpaduan gergaji mesin dan anjing sekarat.

"Kelihatannya merepotkan," decak Adrien kesal.

Dengan sigap, Adrien mengayunkan tinju logamnya tepat ke abdomen salah satu Mutan yang berdiri beberapa meter di depannya.

Pukulan barusan nampaknya cukup untuk melumpuhkan makhluk setinggi dua meter itu. Cerukan seukuran kepalan tangan terbentuk di perut bagian bawah Mutan itu, darah ia muntahkan dari mulutnya yang dihiasi gigi kuning.

"Kau tahu?" Ujar Adrien, sedikit bersemangat, "kurasa ini tidak terlalu buruk."

Ia berlari ke arah kerumunan Mutan yang jumlahnya lusinan itu, entah bodoh atau berani, mungkin keduanya.

Satu persatu tubuh raksasa terjatuh ke tanah, seakan-akan menyusul suara pukulan yang datang tiap dua detik sekali.

Untungnya, mereka tidak abadi layaknya pasukan Syndicate. Akan beda ceritanya jika seandainya mereka abadi, besar dan abadi.

Setidaknya mereka kalah dalam satu pukulan.

Adrien bisa bernafas lega ketika pukulan terakhirnya menembus pelipis Mutan itu layaknya agar-agar.

Bagaimanapun juga, ia tidak bisa terlalu lama bersantai. Ia masih harus mengecek kondisi Evelyn dan anak-anak lainnya.

Adrien meregangkan tangannya yang agak kesemutan setelah pertarungan barusan. Wajar saja, melawan lusinan Mutan raksasa bukanlah hal yang biasa dilakukan.

SyndicateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang