Prolouge

2K 164 10
                                    

Gelas kaca berisi anggur semerah darah berdiri di antara kedua pria yang tengah berselisih itu. Suara mereka saling beradu, membuat siapapun yang hendak melangkah masuk ke dalam ruangan itu untuk mengurungkan niatnya.

"Berapa kali harus kukatakan padamu, bajingan? Aku tidak membelot!"
"Aku melihatmu masuk ke dalam kantor cabang mereka, kau mau bicara apa lagi?!"
"Demi Tuhan, Adrien! Aku bersumpah aku tidak membelot!"
"Buktikan padaku, Greg."

Pria yang dipanggil Greg itu mengambil sebuah pistol yang tergeletak di atas meja, lalu menyerahkannya kepada lawan debatnya, "aku rela mati jika itu cukup untuk meyakinkanmu, Ad."

Adrien mengambil pistol 9mm itu dan mengacungkan moncongnya ke rekan seperjuangannya, amarah nampak jelas di wajahnya, urat di kepalanya menegang. Rasa kekecewaan dan pengkhianatan terpancar dari matanya yang berwarna kehijauan itu.

"Kau sudah seperti saudaraku Greg," Adrien melepas pengaman di pistolnya. "Tapi nampaknya malam ini aku akan kehilangan seorang saudara untuk yang kedua kalinya."

DAR!

Peluru berdiameter sembilan milimeter itu menembus tengkorak Greg dengan mudah, meninggalkan lubang menganga dengan darah yang mengucur. Beberapa saat kemudian, Greg tumbang ke lantai, menumpahkan darahnya ke atas karpet persia yang melapisi lantai ruangan itu.

Adrien meneguk anggur merah dari gelas yang berada di meja. Wajahnya sama sekali tidak memberikan kesan penyesalan setelah membunuh teman baiknya sendiri.

Ia khawatir Syndicate telah melakukan sesuatu pada greg, dan ia tidak mau mengambil resiko.

Dan benar saja, begitu otopsi dilakukan, ditemukan sebuah chip yang tertanam di batang otak Greg dengan simbol Syndicate di lempengan kecil itu.

Adrien akan melakukan apa saja untuk mencegah Syndicate merentangkan sayapnya semakin jauh, termasuk membunuh sahabatnya sendiri.

****

"Tuan," seorang wanita berpakaian formal berjalan masuk ke dalam ruangan yang termaram itu. "Nampaknya rencana Tuan untuk memanfaatkan Gregory gagal."

Pria itu menghembuskan nafas panjang, ia menaikkan kakinya ke atas meja kerja dari kayu mahoni itu.

"Begitu," alih-alih kesal, ia malah tersenyum lebar. "Nampaknya aku sendiri yang harus turun tangan untuk mengakhiri bocah sialan itu."

"Tapi Tuan Marco," potong wanita berambut hitam itu.

"Sshh, tenang saja sayang, aku akan membawa adik bodohmu itu kemari."

[END OF PROLOUGE]

P.S, yang di media itu Marco Post-Time Skip.

SyndicateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang