Bab 1a

2.8K 238 71
                                    


1

2013

Ari

Debur ombak bergulung di hadapanku. Angin laut yang kencang mengacak-acak rambutku. Sementara, langit memerah dengan matahari yang bulat sempurna bergerak turun di barat bumi.

Aku duduk dengan siku bersandar di lututku. Sesekali tanganku bergerak ke arah mulutku, menghantarkan sebatang rokok untuk kuhisap.

Aku sedang menikmati bumi yang bergerak malam di pantaiku. Tepatnya bagian pantai favoritku.

Sudah tujuh tahun kutinggalkan pantai ini. Menuntut ilmu ke benua lain. Lepas S1-ku, tanpa pulang memohon langsung restu Mami, aku melanjutkan S2-ku.

Mami protes keras.

Tapi alasan klasik, 'aku tidak mau pulang sebelum berhasil', berhasil membuat Mami mengizinkanku tidak pulang.

Sebenarnya, aku ingin langsung melanjutkan S3-ku, tapi kali ini Mami memaksaku untuk pulang. Tidak ada alasan yang bisa menahan rindu seorang ibu pada anaknya.

Aku harus pulang.

Mami menangis merindukanku. Tujuh tahun terlalu lama untuknya. Kali ini, kalau aku tidak pulang, Mami yang akan menyusulku ke sana.

Sebuah ancaman yang menyenangkan.

Sebenarnya.

Tapi aku belum siap untuk menceritakan kisahku pada keluargaku.

Aku harus pulang.

Sekadar commercial break untuk hukuman yang kuberikan pada diriku sendiri.

Mami, tanpa perlu kau paksa, aku sangat ingin pulang. Tujuh tahun waktu yang sangat lama. Dengan semua yang terjadi di sana, aku sangat merindukan keluargaku.

Sekarang, di sinilah aku. Di pantaiku, di bagian pantai favoritku, merenung memikirkan masa depanku.

Kembali ke UK, melanjutkan kuliahku dan apa yang tertinggal di sana, atau tetap di sini, menjaga kedua orangtuaku.

Fabian sudah memiliki dunianya sendiri di Jakarta. Dia tidak mungkin kembali ke sini.

"Ri."

Fabian.

Baru saja wajahnya terlintas di pikiranku, sekarang suaranya sudah terdengar.

Dia langsung duduk di sampingku, dengan posisi yang sama dan memandang ke titik yang sama. Menikmati matahari terbenam di pantai kami. Di sisi pantai favoritku. Dia memiliki sudut pantai sendiri tempatnya menikmati pantai.

"Kata Mami lu mau balik ke UK lagi?" Dia berkata tanpa merasa perlu menoleh ke arahku. Pasti dia tidak mau kehilangan momen indah matahari terbenam. Apalah arti wajahku dibanding wajah sang surya saat beranjak tidur di pantai kami.

"Mungkin."

"Kok mungkin?"

"Mami memang mengizinkan pergi, tapi aku tahu, Mami berat melepasku kali ini."

"Iya. Mami takut lu ngga balik-balik lagi." Dia mengubah posisinya, duduk bersandar bertelekan lengannya. "Paling ga, lu jangan langsung ke sana dulu. Tahun depan aja. Biar Mami lupa dulu."

"Mungkin."

"Lagian lu juga. Tujuh tahun ngga balik. Ngga ngertiin perasaan orangtua banget."

Aku sangat mengerti. Rinduku mungkin tidak sebesar Mami. Tapi dengan rinduku ini saja sudah menyiksaku, bagaimana dengan rindu sang pemilik kasih sepanjang jalan?

Maaf.

Ada yang membuatku bertahan di sana. Tak bisa pulang. Sebuah hukuman yang kujatuhkan untukku sendiri.

"Tato lu keren abis, Bro." Dia mengedikkan dagunya. "Lu kalo masuk mesjid dibilang preman insaf tauk."

"Lebih baik jadi mantan preman daripada mantan ustadz." Kenapa orang sering menilai orang lain dari casing-nya saja? Aku tak suka!

Dia tergelak lepas. "Bener banget, Bro...." Menepuk keras bahuku. "Papi bilang apa lu pulang-pulang kaya gini?"

"No comment. Tatto tidak masuk dalam dua pesan Papi."

"Anjritt." Dia tergelak lepas. "Bener lu."

Aku menutup mataku erat. Ada pesan Papi yang kulanggar. Yang membuatku menghukum diriku sendiri.

Setelah kejadian itu, aku membuang energi dan membunuh waktuku dengan olahraga. Gymnasium menjadi rumah baruku. Badanku membesar dengan sendirinya. Ditunjang wajah kerasku, sangat sedikit senyum, dan dengan badan mengintimidasi seperti ini, aku terbantu mengurus tugas baruku di sana.

Setelah apa yang kualami, aku bisa merasakan, wajahku semakin keras, kaku, dan dingin. Sangat mengintimidasi.

"Rencana lu sekarang apa?" Dia meraih bungkus rokokku, mengambilnya sebatang untuk dia nikmati.

"Dunno."

Aku tidak ada ide apa yang harus kulakukan di sini.

"Lu bantuin gua aja ya."

"What kind?"

"Urusin perusahaan. Donita nikah, ikut suaminya ke Medan, gua bingung nyari gantinya."

"Job desk?"

"Cocok banget buat lu. Ngitung BEP, ROI. Gitu-gitu deh. Males banget gue ngurusin gituan."

Aku tersenyum kecil. Dia memang sangat tidak menyukai pekerjaan administratif. Dia suka bergerak, dia suka bertemu orang.

"Aku pikir dulu."

"Ah, segala mikir." Dia terdengar tidak sabar. Dia memang seperti itu.

"Kalo emang mau ke UK, gi deh. Nanti gue bantuin kaya kemarin lagi. Tapi kalo emang ngga mau balik, ya mending lu bantuin gue. Daripada gue nyari orang lain. Kecuali lu ada rencana lain. Ada ngga?"

"Nope."

"Ya udah. Bantuin gua aja."

Si Pemaksa.

"Pas deh sama namanya." Dia tergelak. "PT. Samudra Bahari."

Aku hanya tersenyum kecil. Dia memang sangat ekspresif. Padahal aku belum meng-iya-kan, tapi dia sudah seperti itu.

"Terserah lu kapan mau mulai. Nyantai-nyantai dulu aja di sini nemenin Mami. Bayar utang ngga pernah pulang."

Aku tersenyum. Dia sudah berubah, tidak memonopoli Mami lagi.

Baiklah.

"Tapi aku tidak bisa bekerja office hour." Ada pekerjaan lain yang harus kulakukan.

"Okay. Yang penting kerjaan beres."

"Deal."

"Siipp."

***

Itulah mulanya aku tinggal di ibukota.

***

Kupu-Kupu Jangan Pergi [18+ End]Where stories live. Discover now