Bagian 5

3.6K 266 5
                                    

Boggi melihat kembali kertas fotocopy pembagian pasien bangsal yang menjadi tanggung jawabnya selama seminggu penuh. Di sekitarnya, teman-teman sejawatnya sibuk berkomentar. Dokter Dhio minggu ini mendapat tiga pasien Prof. Ibnu. Dhio sibuk merayu Igo untuk tukar dan langsung ditolak mentah-mentah oleh Igo. Fika ketawa-ketiwi lega, pasiennya adalah Dokter Nia, Dokter Hasan spesialis kulit dan dokter Thomas, semuanya dokter yang santai.

Julian kali ini bisa menarik nafas lega, karena pasien visitenya adalah pasien Dokter Ilyas dan Dokter Ros, yang keduanya adalah dokter spesialis yang masih muda yang ramah dan santai. Sedangkan Boggi, mukanya keruh. Seminggu ini Boggi mendapatkan giliran visite di bangsal Bougenvill A1, memegang tiga pasien penyakit dalam HIV Positiv, semuanya adalah pasien Dokter Shani.

Kalau kemarin Dokter Shani menitipkan pasiennya selama seminggu karena kerelaan Boggi, sebenarnya itu karena Boggi berutang budi. Dokter Shani dulu pernah membantunya menyusun karya tulis (referat) tugas akhir di stase Penyakit Dalam sewaktu Boggi masih koasistensi dan sekarang lah koordinator bangsalnya lah yang mewajibkannya visite.

Bertukar dengan sesama dokter umum yang lain sangat dimungkinkan, tapi Boggi ragu karena semua teman sejawatnya dokter umum sudah semua mendapat giliran visite disana.

"Gi, kenapa lo? murung banget tuh muka. Dapat visite pasien siapa? Gue dong dapet pasiennya Prof. Johan yang baik." Ujar Igo senang, tidak ada lagi bekas-bekas penyiksaan Prof. Dahlan beberapa menit yang lalu.

Boggi membuang nafas dan mendecakkan bibirnya.

"Males banget, dapat pasien Bougenvile A 1. Tiga orang lagi." Boggi melipat kertas pembagian pasien dan menyelipkannya di agenda tanpa semangat.

"Nah kali ini gue nggak mau gantiin kamu visite Gi. Udah sering kali lo minta gue visitekan pasien A1 lo." Ujar Igo.

"Iya, iya tahu. Cerewet." Boggi mengambil tasnya dan bangkit. Igo mengikuti.

"Waduh galak amat... Segitu betenya dapat giliran visite pasien A 1. Semua dari kita udah pernah kok, biasa-biasa aja tuh." Kata Igo.

"Muak aja, semua...brengsek." gumam Boggi.

Igo ternganga.

"Hah, gila lo Gi. Lagi dapet lo ya?" Igo mencoba bercanda.

Akibatnya, Ia kena timpuk agenda hardcover Boggi. Igo mengelus-ngelus kepalanya yang memar.

"Enak aja. Setiap ketemu pasien HIV Positif, atau masih suspect, atau lebih-lebih sudah AIDS, aku eneg. Mereka itu sampah masyarakat." gerutu Boggi.

Igo semakin ternganga. Tidak disangkanya, Boggi yang begitu ramah, idola para pasien dan senior ternyata sebegini skeptisnya terhadap pasien HIV. Memang sudah sejak dulu Igo heran, mengapa setiap Boggi mendapat pasien visite bangsal dengan catatan khusus HIV positif selalu saja dialihkan ke dirinya atau teman lain. Sejauh ini Igo menduga karena kerjaan Boggi yang terlalu banyak, itu saja. Ternyata dibalik itu ada alasan lain.

"Kok lo bisa bilang begitu?" Kejar Igo.

Boggi hanya mengangkat bahu.

"Mereka dapat penyakit itu kan dari hal-hal dosa, free sex, ngedrugs, jajan... sesuatu yang salah, sama sekali salah. Padahal mereka itu kan sudah dewasa, bisa mikir, punya agama, ada tatanan sosial sebagai kontrol untuk bisa milih untuk nggak begitu, tapi tetap aja ngelakuin itu. Akibatnya, mereka kena HIV. Salahnya sendiri!" Boggi menggerutu, nampak sangat tidak suka.

Saking terkejutnya dengan opini sahabatnya dari sejak kuliah, Igo kehilangan kata.

"Hah..." langkahnya terhenti. Boggi berjalan terus. "...Kok bisa lo mikir kaya gitu Gi?" Tanya Igo heran.

PITA MERAH DALAM SEBUAH CERITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang