2

1.7K 114 0
                                    

Author's POV

Riko merasa bingung dengan dirinya sendiri. Ini pertama kalinya ia merasa tertarik pada seorang gadis. Walaupun sebenarnya Riko ini memiliki banyak pacar, tapi tidak seorang pun yang mampu menyedot perhatiannya seperti Sabrina melakukan hal itu.

**

Di ruang latihan The Death (nama band Riko)...

"Ko. Lo salah nada!" Teriak Randy--gitaris-- pada Riko. Riko kemudian berhenti sejenak, ia menatap Randy dengan tajam.

"Sorry. Gue balik duluan. Konser malam ini dicancel aja. Suruh bang Hamka bilang gue lagi kurang sehat" Riko meletakkan gitarnya.

"Lo gila, ya.? Konser ini penting banget buat band kita!" Yuda drummer band The Death menggertak. Riko hanya diam menatapnya dengan serius. Ia memalingkan wajahnya kenmudian mengabaikan Yuda dan berlalu pergi.

Saat kakinya mulai mengambil langkah pergi.. tiba-tiba... BUM!! Yuda menghantam drumnya sekuat tenaga.

"Lo nggak bisa se-enak dengkul elo gini dong! Lo nggak bisa main cancel gitu aja! Lo nggak mikirin fans?! Lo nggak mikirin kerugian yang harus dibayar band cuma demi ngikutin ego lo doang! Alasan lo kurang sehat itu, basi!!" Terang Yuda dengan nada 1234567890 oktaf.

Dengan santainya, Riko membalas perkataan Yuda "cih. Tanpa gue, The Death gak akan punya fans! Fans cuma mengelu-elukan gue. Kalau The Death gak bisa tampil karena manager bilang gue sakit, mereka bakal maklum dan malah jadi prihatin kan. Jadi, lo nggak usah ngoceh," Riko lalu kembali melangkahkan kakinya..

Satu langkah..

Dua langkah..

Tiga langkah..

Di langkah ke empat dia berhenti..

"Satu lagi, sebagian besar biaya yang dikeluarkan ditanggung gue dan yang ngebentuk band ini sejak awal adalah gue, lo nggak usah urusin soal kerugian, gue yang tanggung" ia kemudian kembali melangkah.

Lima langkah..

Enam langkah..

Di lngkah ke tujuh kakinya terhenti oleh kata-kata Yuda.

"Lo bisa membiayai band ini karena hasil kerja bokap-nyokap lo yang pol-polan sampai-sampau mereka nggak bisa ngurusin lo"

"Makanya lo jadi anak yang kurang kasih sayang dan selalu baperan kayak gini tiap saat" jelas Brian--bassis-- menambahkan kalimat Yuda.

Randy, Yuda, dan Brian kemudian tertawa bersama.

Namun tidak dengan Riko, wajah tampannya memerah, asap keluar dari telinga dan juga hidungnya, jari-jarinya sudah terkepal, ia siap meluncurkan tinjunya.

Wuus.. bug!! Benar saja, sebuah tinju melayang tepat di wajah Brian. Ia menggenggam kerah bajunya lalu mendorongnya ke sudut ruangan lalu memukul wajahnya berulang kali.

Riko terus menerus meluncurkan pukulan ke wajah Brian hingga sudut bibirnya mulai meneteskan darah.

Dilemparkannya tubuh Brian ke lantai hingga ia terkapar lalu melanjutkan aksinya.

Tak hanya itu, dengan antusias Riko menghujani Brian dengan pukulan di perut hingga ia memuntahkan darah segar.

Brian sudah tampak lemas tak berdaya, tubuhnya lunglai dan tatapannya mulai buram. Tapi, Riko tanpa ampun masih saja memukuli.

Yuda yang sudah tidak tahan dan tak tega melihat temannya yang sudah hampir mati karena masih terus dipukuli akhirnya memberanikan diri maju ke arah arena perkelahian itu. Ia mencoba untuk menengahi.

Yuda menahan lengan Riko, ia berusaha untuk menghentikan aksi gilanya.

Namun kemarahan Riko sudah memuncak sampai ke ubun-ubun, ia menghempaskan lengannya dan membuat Yuda terjatuh.

Tak puas hanya dengan menghajar Brian, ia lalu beralih menghajar Yuda.

Randy yang memang nyalinya paling kecil dengan tergesa-gesa berlari keluar ruangan dan menemui bang Hamka si manager band The Death untuk meminta bantuan melerai perkelahian sengit di ruangan berukuran 5x6 meter itu.

"Ngh. Hug. Hh. Bang! Si Riko ngamuk lagi. Dia mukulin Brian. Mukulin Yuda juga!" Ujar Randy tergopoh-gopoh dengan napas yang tidak teratur.

Mendengar hal itu, bang Hamka langsung berlari menuju ruang latihan.

Dengan terengah ia menghentikan Riko. Ia menahan tubuh Riko dengan tubuhnya yang besar.

"Riko! Lo ngapain sih." Ucap bang Hamka.

"Lepasin gue bang!" Berontak Riko.

"Ikut gue. Gue anterin lo pulang sekarang" ujar bang Hamka sambil menyeret Riko.

"Ran. Lo anterin nih anak berdua (Brian dan Yuda) ke Rumah Sakit" lanjut bang Hamka lalu melemparkan kunci mobil ke Randy.

***

Di dalam perjalanan menuju ke Rumah Riko. Bang Hamka memberikan beberapa pencerahan. Riko yang memang sangat menghargai bang Hamka hanya membungkam.

Beberapa waktu kemudian akhirnya mobil BMW putih miliknya itu berhenti tepat di depan rumahnya.

"Bang! Kok kita ke sini? Harusnya ke apartemen aja!" Kesal Riko.

"Udah. Diem. Turun. Nih kunci mobil lo. Masuk sana." Ujar bang Hamka. Riko hanya mengacak rambutnya frustrasi, lalu masuk ke dalam rumah mewahnya.

Dengan lunglai, ia berjalan melalui lorong sunyi rumahnya. Tak lama, ia mendengar teriakan ibunya yang berasal dari kamar orang tuanya.

"Kamu ke sana ngapain sama laki-laki itu?!"

"Aku nggak ngapa-ngapain! Dia cuma klien perusahan yang kebetulan berpapasan sama aku!"

Dengan gugup dan juga gemetar ia mencoba melihat dari lubang kecil di pintu kamar itu. Dan... plak!! Telapak tangan tebal ayah Riko tepat mengenai pipi ibunya. Tanpa berpikir panjang, Riko memaksa masuk dan membalas pukulan ayahnya sendiri.

"Papa nggak usah sok peduli sama apa yang mama lakuin. Papa mending urusin tuh cewek yang Papa temenin di club kemarin malam!"

Plak!! Tamparan kasar mendarat di pipi kiri Riko.

"Kamu ngapain di club, huh? Dasar anak nggak tau batasan! Kamu sama aja kayak mama kamu! Nggak guna!" Teriak Hendri, ayah Riko.

Air mata yang tidak biasanya keluar itu muncul dari pelupuk mata Riko. Dengan geram, ia membanting pintu kamar orang tuanya. Ia keluar dari rumah itu, ia masuk ke dalam mobilnya, lalu menancap gas. Air mata yang tadinya hanya menetes kini telah mengalir deras.

Riko berhenti di sebuah club malam langganannya. Ia memesan minuman beralkohol, ia memilih mengecilkan masalah dengan cara mabuk-mabukan. Minuman terus diteguknya dan waktu berjalan tak terkendali.

Jarum jam menunjukkan pukul 4.27 pagi

Dengan gontai dan dengan setengah sadar ia berkendara mengarungi jalan kosong di kawasan yang sudah tidak ia kenali. Rasa mual kini telah menaunginya. Ia menghentikan mobil dan memuntahkan semua isi perutnya di pinggir jalan. Kepalanya sangat pusing, sakitnya tak tertahankan. Ia sudah tidak mampu menopang dirinya, dan akhirnya ia pun tergeletak tak sadarkan diri.

LIFE GENREWhere stories live. Discover now