3

3.8K 312 15
                                    

1 September 2013

Dia disini. Akhirnya, setelah beberapa hari tidak menampakkan diri, aku kembali melihatnya hari ini. Aku duduk di tempatku dengan penuh antisipasi, kurasakan tanganku basah oleh keringat dingin, kusadari dengan jelas wajahku yang mengulas senyum kaku, ada yang menghentak-hentak di rongga dada. Reaksi yang sungguh tidak jelas.

Phew, ini benar-benar ganjil.

Dia mendorong pintu kaca cafe ini dengan lengannya, lalu bel di pintu berbunyi nyaring, tergesa-gesa, dia menuju meja yang biasa ia tempati. Kali ini dia duduk dengan arah menyamping, sehingga aku hanya bisa menatap sisi kanan tubuhnya.

Sial, bahkan wajahku memanas hanya karena kehadirannya.

Untuk beberapa saat, dia tidak melakukan apapun, tidak memanggil pelayan, tidak mengeluarkan buku-bukunya seperti biasa, ataupun melipat kertas bermacam warna yang biasanya berserakan di mejanya. Dia hanya diam, menopang kedua tangannya di atas meja. Menatap nanar satu titik imajiner, jauh, di luar sana.

Bel di pintu berdering sekali lagi. Aku mengalihkan pandanganku darinya dan melihat seorang pria tengah berdiri di depan pintu, mengedarkan pandangannya keseluruh ruangan. Kemudian, pandangannya berhenti, matanya terpaku pada satu titik, dan untuk beberapa saat, kulihat mereka bertatapan.

Apa yang mereka bilang tentang 'ikatan'?

Seperti, sesuatu yang muncul saat kau bertatapan lama. Tentang bagaimana dunia pun ikut lenyap dalam satu moment dimana liang pandangmu beradu. Tentang dentuman hebat dengan kembang api bermekaran di udara.

Aku tidak pernah mengerti semua itu sampai hari ini. Ada yang lain dari bagaimana cara mereka memandang. Aku bukan Shakespeare yang lihai dengan sederet kalimatnya, jadi, aku hanya bisa mengatakan; ada sesuatu diantara mereka. 'Ikatan' itu. Yang menghasilkan dentuman hebat juga kembang api di udara.

Lidahku mendadak kelu. Rongga dadaku di hantam kekuatan asing yang membuat gumpalan aneh menyumbat liang nafas. Aku megap-megap dalam ketenangan yang coba kupertahankan.

Pria itu berjalan mendekat, mencacahkan diri di depannya, pandangannya tak lepas dari sang wanita yang kini menundukkan kepalanya, jemarinya bertaut erat di atas meja. Mereka berdiam diri lagi, kemudian dia mengatakan sesuatu--tak bisa kudengar jelas, namun sukses membuat wanita itu mengangkat pandangannya. Manik indahnya melebar, kaget, sendu di wajahnya hilang berganti raut amarah yang berekor melambai di udara.

"Berhenti mengatakan sesuatu seperti itu, kamu bukan siapa-siapa."

"Kamu sedang tidak sadar, pulanglah, kita bicara lagi nanti."

Mereka saling melontarkan kalimat, desisan, dan mata yang , melebar. Atmosfer di sekitar mereka menegang seperti kabel listrik di malam hari. Lalu, kabel itu semakin memuai-memuai-memuai dan tiba-tiba putus. Aku bisa merasakan jeda dalam detak jantungku saat pria itu bangkit dari duduknya, mendorong kursi dengan kasar lalu melesat ke luar ruangan.

Meninggalkan dia.

Aku pikir aku salah liat, namun, setelah kuperhatikan lebih lama, aku yakin aku tidak salah--kalau badan mungilnya mulai bergetar pelan, lalu tak terkontrol, sepuluh jemari lentik dari dua tangan yang di milikinya ia larikan ke arah mulut, mencegah suara isak yang hendak meluncur, lalu, beralih ke arah lengan atasnya, menggerakkannya naik-turun. Seolah tengah memeluk dirinya sendiri, membentuk pertahanan dari dunia luar.

Lagi. Aku hanya bisa menyaksikan semuanya dari luar arena. Menonton dalam diam. Demi tuhan, sesuatu dalam diriku selalu memaksa untuk datang dan menghampirinya. Dari hari pertama aku melihatnya, keinginan untuk singgah dan menyapa sudah menggedor-gedor akal sehatku. Namun, sesuatu menahanku untuk tetap diam.

Cukup, menjadi pengagum dari jarak jauh.

Insting pria yang kumiliki memaksaku untuk mendekatinya. Ada seorang wanita yang sedang menangis di dekatmu, apa yang akan kau lakukan, selain datang dan mencoba untuk menawarkan ketenangan?

Aku menarik nafas panjang, menetralkan detak jantung, lalu , memantapkan hati. Untuk pertama kali, dalam dua puluh sembilan tahun hidupku, aku akan berjalan ke sana, menenangkan seorang wanita yang kutemui di sebuah kafe, menawarkan sebuah alter, setelah itu, hanya tuhan yang tahu.

Aku sudah berjalan, seperempat jalan, saat seseorang mendahuluiku. Tak kudengar bel di pintu yang berbunyi kembali. Dia muncul lagi. Pria itu muncul dengan tergesa-gesa. Nafas memburu, ia duduk di depannya lagi. Jemarinya tak ragu saat merangkum dua tangan mungil yang gemetaran. Aku, terpaku di tempatku. Dengan empat dinding pengapit yang perlahan runtuh.

Wanita Malaikat itu mendongak. Dua matanya yang berkaca-kaca menatap sendu, ke arah pria di depannya

"Aku minta maaf."

Lalu, dia mengulas senyum.

"Aku benar-benar minta maaf."

Dia menautkan jemari mereka. Memberi sentakan kecil, lalu membawa Wanita Malaikat itu berdiri, lalu tatapan 'itu' lagi. Dengan tangan bertautan, mereka berjalan menjauh, meninggalkan pintu kaca yang tertutup di belakang punggung.

Ting.

Aku tidak tau berapa lama aku berdiri diam di sana. Entah berapa dering yang bel yang kudengar setelahnya, tak satupun membawaku kembali ke permukaan. Sekelilingku bergerak seperti gambar yang fast forward. Aku setia terpaku di tempatku.

Yang aku tahu, setelah hari itu. Dia tidak menampakkan dirinya lagi.

-T.

TBC.

Gue pikir, cerita tentang cewek yang jadi pengagum itu udah cukup banyak. Tentang, gimana cewek lebih memutuskan untuk diam dan menunggu.

Diam-diam suka, diam-diam kangen, diam-diam cembru, diam-diam sakit hati. Ujungnya, kalau ditanya kenapa ga bilang langsung aja, statement ampuhnya langsung keluar;

Gue kan cewe, malu lah! Masa ngedeketin duluan?!

Walaupun ga sedikit juga sih, sekarang cewek yang ngedekatin duluan, yang ngelamar duluan, nge-jackpot duluan. Gue jadi penasaran, gimana kalo cowok memtuskan untuk menjadi pemain yang berada di luar arena. So, that's why aMwLaG, muncul ke permukaan.

Masih ada dua chapter lagi yah. Hope you like it, thanks for voment xo.

*smooches*






A Man who Loved a GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang