02 // Seatmate

20 3 0
                                    

Gue cuma punya satu sahabat di dalam dunia ini.

Menyedihkan? Nggak, dong. Bagaimana bisa menyedihkan kalau punya teman seperti Ronald?

.. Oke. Ini terdengar menjijikkan-dan nggak, gue nggak gay.

Alasan gue cuma punya satu sahabat karena, yah.. Gue males berurusan dengan orang-orang munafik. Gue nggak suka drama. Gue pengen hidup yang lempeng-lempeng aja.

Seperti yang gue lakuin selama ini.

Dan kalau lo bertanya-tanya apakah gue outcast di sekolah, gue bakal jawab nggak. Ini serius-bukan bermaksud menyindir orang atau menyombongkan diri. Gue dapat berinteraksi dengan orang lain dengan cukup baik, kok. Gue akan kaku disaat pertemuan pertama, tapi setelah itu gue bisa mengobrol dengan baik.

Dan bisa dibilang gue lumayan populer di sekolah-dan sekali lagi nggak, gue lagi nggak nyombong. Yang gue maksud sebagai populer adalah gue mempunyai teman yang cukup banyak untuk bermain, dan bukan orang yang tertindas.

Sebenarnya, yang membuat gue kenal murid-murid disini-walaupun gue anak pindahan pas kelas 7-yaitu karena gue ikut ekskul futsal dan.. bisa dikatakan kalau sekarang gue memegang jabatan kapten.

Dan menurut pengalaman gue, orang-orang kebanyakan ingin berteman dengan gue karena posisi kapten yang nggak berubah sejak gue masuk SMA. Seandainya saja gue bukan kapten futsal, mana mau orang-orang mencoba temenan sama gue?

Dasar, manusia.

Dan kalau lo bertanya apakah Ronald pemain futsal atau bukan, jawabannya bukan. Dia adalah ketua ekskul drama-as expected-yang berarti kami saling memasuki ekskul yang bertolak belakang. Dan ya, dia nggak bisa olahraga. Benar-benar lemah. Tapi perbedaan nggak bisa misahin kita.

Dan satu dari beberapa hal yang gue nggak suka dari anggota-anggota team gue adalah.. mereka yang memperlakukan cewek seperti mainan.

Suara bel memecah belah pikiran gue yang dari tadi ngelantur. Syukurlah gue nggak terlambat lagi, kalau iya.. orang-orang makin nganggep kalau gue bad boy-persetan mereka dan fantasi-fantasinya. Heran.

Gue mendesah.

Tahun ini, tahun senior gue, gue tetap sekelas sama Ronald. Dan kalau lo ingin tau, gue udah sekelas sama Ronald dari kelas 7-yang berarti ini tahun ke 6 gue sekelas sama dia.

Soal kenapa hal itu bisa terjadi.. gue juga nggak ngerti. Gue nggak pernah ngancem kepala sekolah buat nyatuin kita berdua, kok. Bener deh.

Gue pun berjalan menaiki tangga dengan earphone di kedua kuping. Berdasarkan Ronald-kita dapet kelas XI IPA 3, dan berhubung gue kelas 12, gue pun dapet kelas di lantai 3. Indah.

Semasa gue berjalan, gue bisa mendengar bisik-bisik anak cewek yang berpapasan dengan gue, walaupun gue pake earphone. Dengan suara kecil, sih.

"Tau nggak, tau nggak.."

"Kenapa?"

"Itu, itu! Si Austin kemarin masa nggak masuk! Kabarnya sih, dia abis tanding antar geng motor! Duh, keren banget deh."

.. HAH?

Geng motor? Seriously?

Apa gue bilang. Orang-orang di sini otaknya agak geser, walaupun ini adalah salah satu sekolah swasta ternama.

Dan pada saat yang bersamaan, mata gue dan kedua cewek itu beradu. Gue pun menaikkan sebelah alis gue.

"Ih, kan! Orangnya denger! Lo sih, kenceng-kenceng," hardik cewek berambut panjang.

ComplementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang