Part 2

10.6K 245 10
                                    

Pukul tiga sore tapatnya beberapa saat sebelum waktu ashar tiba. Anak anak didiku yang terdaftar sebagai anggota Pondok Menulis Sofiyan, sudah berkumpul. Mereka terdiri dari mulai usia sembilan tahun sampai lima belas tahun. Dari anak sekolah dasar sampai anak yang bekerja dipasar berbondong bondong ikut menulis. Setiap anggota yang terdaftar dalam Pondok menulisku aku wajibkan mengikuti enam belas pertemuan berarti totalnya mereka hanya dua bulan belajar denganku dan setelahnya aku nyatakan mereka lolos, sebagai tanda hormatnya aku buatakan mereka sertifikat. Hari sabtu dan minggu adalah hari yang sangat aku nantikan karena hari itu bukan saja aku hanya mengajari mereka bagaimana cara untuk menulis yang baik tapi aku juga bisa melihat senyum mereka, melihat mereka saling berbagi cerita dan aku ajari teori teori bagaimana mereka bisa jadi pemipin. Ya aku ingin mereka tidak hanya pintar menulis tetapai aku ingin mereka bisa menjadi pemimpin, pemimpin untuk keluarganya, untuk masyarakat, untuk agama dan untuk negeri indonesia tercinta.

Setiap minggu pasti ada saja murid baru yang akan daftar menjadi anggota Pondok Menulis. Mungkin totalnya sudah ratusan yang pernah aku didik dan sudah lulus dari Pondok menulisku. Aku memang tak memberikan tarif dalam mengajari mereka, bagiku mereka mau belajar denganku saja itu sudah menjadi suatu kebanggan buatku, tapi ada saja beberapa anak yang dengan sengaja dititipkan uang oleh orang tuanya agar diberikan untuku, aku sudah sering menolak tapi salah satu anak bernama Dawi pernah sampai menangis memaksaku agar mau menerima pemberian uang dari orangtuanya, katanya dia takut ibunya mengira jika dia tak memberikanya padaku, sehingga dawi nantinya akan kena marah. Sejak saat itulah aku memutuskan membuat suatu kotak, mungkin persis seperti kotak amal. Setiap selesai belajar kotak itu pasti mengelilingi mereka satu persatu, yang nantinya isi dari kotak itu akan digunakan untuk membeli beberapa buku agar melengkapi rak buku yang ada di pondok menulisku atau digunakan sebagai uang kas, jika suatu ketika ada sesuatu yang tidak di inginkan menimpa salah satu anggota, uang itu bisa digunakan. Dan mereka sepertinya sangat antusias mengisi kotak berwarna silver itu. Sebelum mulai mengajar aku mengajak mereka untuk sholat ashar berjamaah di pondoku, dan beberapa yang beragama non muslim dengan senang hati akan membaca buku sambil menunggu kami yang sedang khusyu bersujud pada Illahi Rabbi.

Anak anak didiku sudah pulang satu persatu, di depan pondok hanya ada beberapa anak yang masih asyik berbagi cerita atau saling tukar hasil karya cerita mereka. Mulai dari puisi, pantun dan cerpen. Jika melihat tawa mereka sepertinya sangat menyenangkan menikmati masa masa seperti mereka, tanpa beban masalah yang berat dan suatu pertanggung jawaban yang berat pula.

“Mas... Eh maksudnya Pak Fiyan”

Seorang gadis berjilbab berusia tiga belas tahun menyadarkan lamunanku. Entah sejak kapan ia duduk disebelahku. Saat ini aku memang tengah duduk diteras pondok menulisku sambil menikmati udara sore.

“Sudah saya bilang, kamu dan anak anak yang lain tetap memanggil saya Mas. Walaupun saya sudah menikah sekarang. Tapi panggilan tidak berubah”

“Maaf mas..”

“Ada apa el?”

“Anu ini..”

Elma menyerahkan beberapa lembar kertas hvs yang berisi coretannya yang sudah dijilid rapih. Judulnya “KETIKA AWAN DIATAS FAJAR”. Dengan senyum aku langsung melihat sinopsis cerpen karya-nya.

“Saya disini tinggal dua pertemuan lagi mas. Karena itu saya memberanikan diri menyerahkan lebih awal adikarya saya. Saya mohon mas mau mengoreksinya”

“Sepertinya tidak perlu saya koreksi, karena dari awal kamu masuk Pondok ini saya sudah terhipnotis oleh cerpen cerpen buatanmu. Kamu ada bakat menjadi penulis hebat elma. Saya yakin suatu hari kamu juga bisa seperti saya menebitkan buku atau bahkan mungkin menggantikan posisi saya..”

KUPU KUPU JANTANWhere stories live. Discover now