HAFSHAH BINTI UMAR (Bag 2)

Mulai dari awal
                                    

Hafshah senantiasa bertanya kepada Rasulullah SAW dalam berbagai masalah, dan hal itu menyebabkan marahnya Umar kepada Hafshah, sedangkan Rasulullah SAW senantiasa memperlakukan Hafshah dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. Beliau bersabda, “Berwasiatlah engkau kepada kaum wanita dengan baik.”
Rasulullah SAW pernah marah besar kepada istri-istrinya ketika mereka meminta tambahan nafkah. Rasulullah SAW bersumpah untuk tidak berkumpul dengan istri-istri beliau selama sebulan hingga mereka menyadari kesalahannya, atau menceraikan mereka jika mereka tidak menyadari kesalahan.

Kaitannya dengan hal ini, Allah berfirman, “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, jika kalian menghendaki kehidupan dunia dan segala perhiasannya, maka kemarilah, aku akan memenuhi keinginanmu itu dan aku akan menceraikanmu secara baik-baik. Dan jika kalian menginginkan (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di kampung akhirat, sesungguhnya Allah akan menyediakan bagi hamba-hamba yang baik di antara kalian pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab)

Umar bin Khatab kemudian mendatangi rumah Rasulullah SAW. Umar melihat istri-istri Rasulullah SAW murung dan sedih, sepertinya telah terjadi perselisihan antara mereka dengan Rasulullah SAW. Secara khusus Umar memanggil putrinya, Hafshah, dan mengingatkannya untuk menjauhi perilaku yang dapat membangkitkan amarah beliau dan menyadari bahwa beliau tidak memiliki banyak harta untuk diberikan kepada mereka.
Rasulullah SAW menjauhi istri-istrinya selama sebulan di dalam sebuah kamar yang disebut khazanah, dan seorang hamba sahaya bernama Rabah duduk di depan pintu kamar. Setelah kejadian itu tersebarlah kabar yang meresahkan bahwa Rasulullah SAW telah menceraikan istri-istri beliau. Yang paling merasakan keresahan adalah Umar bin Khatab, sehingga dia segera menemui putrinya yang sedang menangis.

Sepertinya Rasulullah SAW telah menceraikanmu,” Kata Umar kepada Hafshah

“Aku tidak tahu,” Jawab Hafshah sambil terisak

Beliau telah menceraikanmu sekali dan merujukmu lagi karena aku. Jika beliau menceraikanmu sekali lagi, aku tidak akan berbicara denganmu selama-lamanya.” Sahut Umar lagi,

Hafshah menangis dan menyesali kelalaiannya terhadap suami dan ayahnya. Setelah beberapa hari Rasulullah SAW menyendiri, belum ada seorang pun yang dapat memastikan apakah beliau menceraikan istri-istri beliau atau tidak. Karena tidak sabar, Umar mendatangi khazanah untuk menemui Rasulullah SAW yang sedang menyendiri.

Sekarang ini Umar menemui Rasulullah SAW bukan karena anaknya, melainkan karena cintanya kepada beliau dan merasa sangat sedih melihat keadaan beliau, di samping memang ingin memastikan isu yang tersebar. Umar bin Khatab merasa putrinyalah yang menjadi penyebab kesedihan beliau.
Umar pun meminta penjelasan dari Rasulullah SAW walaupun di sisi lain dia sangat yakin bahwa beliau tidak akan menceraikan istri – istri beliau. Dan memang benar, Rasulullah SAW tidak akan menceraikan istri-istri beliau sehingga Umar meminta izin untuk mengumumkan kabar gembira itu kepada kaum muslimin. Umar pergi ke masjid dan mengabarkan bahwa Rasulullah SAW tidak menceraikan istri-istri beliau. Kaum muslimin menyambut gembira kabar tersebut, dan tentu yang lebih gembira lagi adalah istri-istri Rasulullah SAW.

Setelah genap sebulan Rasulullah SAW menjauhi istri-istrinya, beliau kembali kepada mereka. Beliau melihat penyesalan tergambar dari wajah istri-istri beliau. Hafshah dapat dikatakan sebagai istri Rasulullah SAW yang paling menyesal sehingga dia mendekatkan diri kepada Allah dengan sepenuh hati dan menjadikannya sebagai tebusan bagi Rasulullah SAW. Hafshah memperbanyak ibadah, terutama puasa dan shalat malam. Kebiasaan itu berlanjut hingga setelah Rasulullah SAW wafat.
Hafshah memiliki kedudukan yang sangat tinggi di hati Rasulullah SAW bahkan termasuk salah seorang istri beliau yang istimewa di antara istri-istri lainnya. ‘Aisyah RA pernah mengakui hal ini.

Aisyah pernah berkata, “Hafshah adalah termasuk salah seorang istri Nabi SAW yang nyaris setara denganku.”

Ketika Rasulullah SAW wafat, Hafshah sangat sedih dan sering menangis. Setelah itu beliau tidak pernah keluar rumah, namun beliau tetap menjadi rujukan bagi orang yang mencari kebaikan dan ilmu. Banyak sahabat yang datang kepadanya menanyakan berbagai urusan dan Hafshah menjawab sesuai dengan apa yang diketahui dari Rasulullah SAW.

Hafshaf Pemilik Mushaf yang Pertama
Pada masa Khalifah yang pertama, yakni Abu Bakar As-shidiq. Hafshah mendapat uang belanja dari Baitul Mal secara khusus sama seperti istri-istri Rasulullah SAW lainnya, namun sebagian besar pemberian baitul Mal tersebut diberikan kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Hafshah hanya menyisakan sekedar untuk memenuhi kebutuhannya.
Ketika Masa Kekhalifahan Abu Bakar berlalu dan digantikan oleh Umar bin Khatab ayahnya, tidak jarang Hafshah dimintai pendapat dan fatwa tentang berbagai hukum agama. Akan tetapi jika ditanya tentang masalah politik, beliau tidak mau ikut campur kecuali jika masalah tersebut berhubungan dengan kemashalahatan dan persatuan kaum muslimin.

Umar bin Khatab dibunuh oleh Abu Lu’luah saat sedang sholat di mihrab. Hal ini membuat Hafshah merasa sangat kehilangan dan membuat beliau menutup diri dari kehidupan manusia demi menghindarkan segal keburukan.

Hafshah binti Umar salah satu istri Rasulullah SAW hidup hingga masa kekhalifahan Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Ketika terjadi fitnah besar antar muslimin yang menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman, Hafshah berada pada kubu Aisyah sebagaimana yang diungkapkannya,

“Pendapatku adalah sebagaimana pendapat Aisyah.”

Meskipun demikian Hafshah tidak termasuk ke dalam golongan orang yang menyatakan diri berba’iat kepada Ali bin Abi Thalib. Hal ini dikarenakan saudaranya yakni Abdullah bin Umar, memintanya agar berdiam di rumah dan tidak keluar untuk menyatakan ba’iat.

Karya besar Hafshah bagi Islam adalah terkumpulnya Al-Qur’an di tangannya setelah mengalami penghapusan karena dialah satu-satunya istri Rasulullah SAW yang pandai membaca dan menulis. Pada masa Rasulullah SAW, Al-Qur’an terjaga di dalam dada dan dihafal oleh para sahabat untuk kemudian dituliskan pada pelepah kurma atau lembaran-lembaran yang tidak terkumpul dalam satu kitab khusus.

Pada masa khalifah Abu Bakar, para penghafal A1-Qur’an banyak yang gugur dalam peperangan Riddah (peperangan melawan kaum murtad). Kondisi seperti itu mendorong Umar bin Khatab untuk mendesak Abu Bakar agar mengumpulkan Al-Qur’an yang tercecer. Awalnya Abu Bakar merasa khawatir kalau mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu kitab itu merupakan sesuatu yang mengada-ada karena pada zaman Rasul hal itu tidak pernah dilakukan. Akan tetapi atas desakan Umar, Abu bakar akhirnya memerintah Hafshah untuk mengumpulkan Al-Qur’an, sekaligus menyimpan dan memeliharanya. Hafshah mengemban amanah penjagaan Al-Qur’an setelah berhasil dihimpun oleh Zaid bin Tsabit RA.

Lembaran-lembaran Al-Qur’an itu tetap berada di tangan Hafshah binti Umar hingga masa pemerintahan Utsman bin Affan. Usman bin Affan  ketika itu memutuskan menghimpun Al-Qur’an dalam satu mushaf dan memperbanyaknya sehingga dapat dibaca oleh kaum muslimin hingga saat ini.
Hafshah r.h.a meninggal dunia di Madinah pada bulan Jumadil 'Ula tahun 45 Hijriyah, dalam usia kurang lebih 63 tahun. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa ia wafat pada tahun 41 Hijriyah, dalam usia 60 tahun. Wafatnya Hafshah terjadi  pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Dia dimakamkan di Baqi’, bersebelahan dengan makam istri-istri Rasulullah SAW yang lain.

Hafshah merupakan seorang ahli ibadah dan ahli zuhud. Sering kali ia tidak tidur pada malam hari dan selalu berpuasa pada siang harinya. Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Hafshah dan semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.

HIKAYAT MUSLIMAH TELADANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang