fourteen(he kiss me?)

11.2K 312 0
                                    

Aku berdiri di balkon kamar milikku yang tidak terlalu luas. Malam ini sangat tenang. Maksudku, benar-benar tenang. Aku menutup mataku menikmati angin malam yang menyapu kulit dan rambutku. Dari atas sini, aku bisa melihat remang rumah-rumah penduduk yang hanya diterangi obor api dan cahaya bulan, bulan yang sangat dekat. Dan pagar beton berpenjaga yang mejulang tinggi. Aku merasa seperti seorang putri sekarang.

"Kau bisa beku jika berada diluar dengan pakaian seperti itu dan semalam ini." Suara yang tidak asing membuatku membuka mataku dan perasaan bak seorang putri itu tiba-tiba hilang. Aku sadar bahwa Gavin adalah pangerannya sekarang. Suara sepatunya menandakan bahwa ia mendekat padaku.

"Aku suka disini, Gave. Semuanya terasa begitu..menenangkan." Gavin berdiri sejajar denganku. Memegangi beton yang memagari balkon.

"Bulan yang indah." Tuturnya tenang setenang dirinya yang memang tenang. Ia menatapku sekarang dan mengambil tanganku. "Jangan kembali, Anna." Sambil mengenggam erat tanganku. Aku suka itu. Sekian lama ia menggenggam tanganku aku baru menyadari betapa kedinginannya diriku. Dan tiba-tiba rasa hangat muncul secara perlahan dari tanganku dan menyebar ke seluruh tubuhku. Hangat. Itu yang kurasakan.

"Kembali? Maksudmu?"
"Aku ingin kau tetap berada disini. Bersamaku." Genggamannya makin erat.
"Aku tidak akan kemana-mana, Gave. Aku sedang bersamamu."
"Benar." Ia memelukku dan aku membalasnya perlahan. Ini membingungkanku. Tapi biarlah, ini sangat hangat dan terasa hingga ke hatiku.

"Kau kedinginan. Masuklah." Sambil membopongku Gavin tetap memelukku. Aku hanya pasrah.

Kami diam dalam kekikukkan masing-masing. "Um, Gave. Aku ingin tahu sesuatu, tapi tolong, jangan lari saat aku bertanya. Jika kau tak ingin menjawab. Jangan. Tapi jangan pergi begitu saja tanpa memberitahuku kenapa." Ia menatapku. Tersenyum lebar. "Dan kau memelukku tanpa rasa bersalah karena telah membuatku terjebak dalam kebingunganku. Aku tak akan mengerti jika tak ada yang bilang padaku..." Ocehanku terhenti karena sesuatu berada dibibirku. Ini lebih hangat. Dan perlahan aku menutup mataku, menikmatinya.

"Oh maaf." Kataku malu-malu. Begitu juga Gavin. Ia menunduk dan tertawa kecil.
"Tidak. Tidak. Aku yang harusnya minta maaf. Aku..." Ia tertawa lagi. "Oh ya tuhan. Maafkan aku. Apa kau marah padaku?" Tanyanya. Ia memegang tanganku yang sedang memegang kayu ranjangku erat-erat karena malu setelah apa yang baru saja terjadi. Aku dapat merasakan perbedaan suhu di wajahku. Oh ini pasti lebih merah.

"Apa! Tentu saja tidak!" Aku mengatakannya dengan setengah berteriak. Ya tuhan, aku terlalu mengekspos perasaan senangku.
"Maksudku, aku tidak apa-apa." Kataku berusaha memperbaiki kata-kata yang sebenarnya tidak salah. Tapi kuharap dia tidak mengetahui makna dari ucapanku tadi. Yang dimana bahwa aku menyukai itu. Aku menyukai ciumannya. Oh my, dia benar-benar menciumku disaat aku tidak mengharapkannya. Ini gila. Sangat gila. Perkiraanku siang tadi ternyata benar. Ia merencanakan sesuatu yang mengerikan yaitu menciumku.

"Apa kau siap untuk besok?" Suaranya yang tenang memecah keheningan. Aku dengan cepat mengangguk.
"Kuharap begitu."
"Kenapa? Setelah semua ini? Kalau begitu. Maaf." Kata Gavin memandangiku yang tidak sedang memandanginya.
"Kau kemarin sangat bersemangat bahkan tadi pagi." Kontas aku memandanginya dan memegang tangannya.
"Tidak, sungguh. Aku hanya...semuanya pasti bertambah berat bukan? Dan jika maksudmu yang tadi itu, aku, aku sungguh tidak apa-apa. Aku juga menyukai itu Gave. Percayalah." Ia memegangi pipiku dan mengelusnya. Ia tersenyum manis padaku.
"Kalau begitu, tidurlah. Besok pasti melelahkan."
"Aku tidak bisa tidur sepertinya. Setelah..." aku terlalu malu untuk meneruskan kalimat selanjutnya. Ia tampak sedang memikirkan sesuatu.

AWAKENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang