seven

17.4K 601 2
                                    

Aku berlari dilorong yang remang. Melewati banyak pintu dan sering kali tersandung gaun tidur putihku yang panjang. Aku tidak ingat jika ia yang menggantinya. Aku terus berlari.

Aku sampai di ujung lorong yang dari kejauhan seperti satu titik sinar terang dan tiba-tiba aku berada di tempat yang sangat indah, begitu hijau, sangat luas dan banyak burung kenari berterbangan dan kicauan bahagianya. Ini lebih dari indah. Lalu sesekali rambut ku tersapu sempurna oleh angin sepoi yang lembut.

"Bagus. Aku bermimpi lagi." Kataku, mengatai diriku sendiri. Aku mengangguk dan menggelengkan kepalaku. Memegang kepala ku yang tidak pusing. Ya tuhan, apa-apaan ini. Tidak cukup kejadian barusan tadi dan sekarang yang lebih aneh. Yeah aneh, aku tak pernah melihat ini di mimpiku selain yang tadi. Pria itu dan ruangan itu. Oh, aku teringat. Ternyata aku sedang bermimpi. Aku menampar dan mencubit pipi ku sendiri. Bukan untuk memastikan apakah ini mimpi atau bukan. Tapi aku yakin ini memang mimpi. Aku hanya ingin bangun dan memeluk ibuku.

Seseorang tertawa dibelakang ku. Suara pria itu. "Percayalah. Ini bukan mimpi Anna. Kau di dunia ku." Aku terkejut dan refleks mendorong diriku ke belakang. "Apa? Kau tahu namaku? Apa maksudmu duniamu? Dan kenapa kau meninggalkan ku tadi. Apa yang salah dengan diri mu?" Aku menghujaninya dengan banyak pertanyaan yang belum seberapa. Percayalah, masih banyak pertanyaan dari ku. "Kau tahu, aku lelah mengulang semua ini. Tidakkah kau sadar? Ini bukan mimpi. Kau hanya tidur dan jiwa mu datang kemari dan tubuhmu masih tidak terima. Jadi seolah-olah kau bermimpi. Dan kau tahu, kau mengulur waktu terlalu lama. Untuk diriku dan Lilly." Ia menjelaskan tanpa memandangku. Ia terus memandangi langit di depan dan aku baru menyadari betapa besarnya bulan yang ada di depan ku. Bulan di tengah hari? Apa? Dan ada dua?

Aku menganga. Dan sekarang otakku mati rasa. Tapi aku teringat ia mengatakan Lilly. "Dimana Lilly?!" Ancamku padanya. "Apa yang terjadi dengannya?" Desisku. Aku merasa bahwa muka ku benar-benar panas sekarang. Ia tidak menjawab. "Jawab aku." Aku mendekat dan mendongak ke arahnya. "Dia...umm...disuatu tempat. Menunggu mu." Katanya memalingkan wajah tampannya dariku lagi. Aku tertawa. "Omong kosong apa ini?" Ketusku. "Jika kau tak percaya padaku, ikut aku." Katanya sambil memberi tangannya agar aku menggandengnya. Aku menurutinya. "Apa kau tidak punya gaun lain?" Tanyanya menghentikan langkah kami. "Yang benar saja. Ku kira kau yang mengganti baju ku." Kataku. Dia terkejut. Kami sudah di lorong. "Apa? Kau tidak ingat punya pelayan di sini?" Katanya heran. "Kurasa tidak. Aku bahkan tidak mengenali mu." Dia tambah kaget. "Ya tuhan. Ampunilah aku." Bisiknya lirih. Ia mendesah. "Baiklah. Ganti baju mu." Katanya menyuruhku masuk. Kami sudah di depan pintu bilik yang tidak aku sadari betapa besarnya daun pintu yang tertutup rapat ini. Bahkan untuk lima orang gemuk selaligus bisa masuk. Aku hanya mengatakan wow dalam hati.

"Sudah siap?" Tanyanya menggandeng tanganku. Aku melihat tanganku yang diambil olehnya dan aku membiarkannya. Sejak kapan kita sedekat ini? Aku berencana mengatakan itu, tapi aku mengurungnya. Ini sepertinya bagus. "Kau selalu cantik mengenakan apa saja, Anna. Aku suka itu." Bisiknya padaku. Aku memerah dan tersenyum. "Aku bahkan tidak tahu nama mu." Aku berkata tanpa menolehnya. "Jadi, kita akan jalan kaki?" "Tentu saja tidak. Aku tidak ingin kau lelah." Ia menekankan ucapannya di ujung kalimat. Aku menganguk.

Setelah melewati ruangan yang berbelok-belok. Kami sampai yang sepertinya pintu utama. Pintu itu sebesar pintu yang dia sebut sebagai bilik ku. Oh betapa beruntungnya diriku. Aku tersenyum.

Dua orang-yang sepertinya laki-laki, aku tak tahu karena ia mengenakan baju besi dan helm besinya-membukakan pintu untuk kami. Cahaya masuk menyinari tempat yang agak redup cahaya. Tak ada jendela, hanya celah yang lumayan besar di atas dinding yang terbuat dari batu.

Saat pintu terbuka lebar, aku menyipitkan mataku karena belum terbiasa dengan cahaya terang. Ini sungguh luar biasa. Pemandangan yang sangat kuno seperti pada masa kerajaan dimana semua wanita mengenakan gaun yang panjang dan para pria yang mengenakan setelan jas kuno.

Kami seperti di pasar dengan orang-orang yang sibuk mengurus barang mereka, ada yang sibuk dengan buah sayurnya. Ada juga yang sedang sibuk dengan kudanya dan itu keren. Kau tahu, tanahnya juga terbuat dari batu dan bertingkat. Banyak orang berlalu lalang dengan kudanya. Tidak ada mobil, tidak ada kereta dan yang terpenting tidak ada asap yang mengganggu.

Aku melihat kereta dengan dua ekor kuda yang membawanya. Dengan satu orang kusir di depan sambil mengendalikan kudanya dengan tali dari kejauhan dan mendekati kami.

"Sebenarnya, aku sudah tidak sabar untuk ini. Aku sering melihatmu di kota yang kotor itu. Kau tahu? Aku benci berada di tempat itu lama-lama tapi aku tidak keberatan karena dengan begitu aku bisa menjaga mu." Aku mengalihkan pandanganku dari kereta itu melihat ke arahnya yang menyipitkan mata karena silau. "Maksudmu Forks?" Ia mengangkat kedua bahunya. "Aku tak tahu. Mungkin." Katanya. "Jadi kau, selalu mengawasiku?" "Ya, aku suka cara mu berbicara dan menenangkan orang lain. Sifatmu yang mungkin tidak ada orang lain sejujur dirimu. Aku suka itu. Kau layak, Anna." Jelasnya sambil menatapku. Layak? Layak apa? Saat aku ingin mengatakannya, kereta berkuda itu sudah didepan kami dan berhenti tepat didepan kami. "Simpan pertanyaan mu." Katanya mendorong ku masuk. Dia tau aku ingin bertanya? Hebat.

Keretanya bergenjut sepanjang jalan, membuat ku sedikit pusing dan agak mual, sebenarnya. Kami diam sepanjang jalan dan ia terus menatap ku sambil tersenyum. Aku terus menunduk untuk menyembunyikan wajahku yang memerah.

Di lubang yang mungkin bisa disebut sebagai jendela, aku sadar bahwa kami mulai menjauh dari keramaian dan menyadari betapa besarnya bangunan yang aku tiduri tadi malam. Dan aku sadar bahwa itu bukanlah pondok seperti yang aku katakan pada Velle. Meski didalamnya atau tepatnya bilik milikku terbuat dari kayu.

Aku mengantuk di tengah perjalanan. Dan sepertinya dia menyadari itu. Aku tak sengaja melihat matanya, masih melihatku dengan tatapan yang sama. "Tidurlah." Katanya datar. "Tidakkah kau bosan melihatku terus-menerus seperti itu?" Kata ku. Aku tidak tahan dengan pesonanya kalau harus jujur. Dia sangat sempurna. Dia hanya menggeleng pelan. Hanya itu yang kami bicarakan. Walaupun aku punya banyak pertanyaan tentang semuanya tapi aku merasa sangat lelah jadi aku memutuskan untuk menyimpannya dalam-dalam.

AWAKENWhere stories live. Discover now