six

18.4K 732 3
                                    

Malam itu, sangat ramai dan riuh. Kami berdansa bersuka cita diiringi lagu-lagu mozart dengan keterampilan biola di padu dengan piano yang menakjubkan. Aku menggunakan gaun putih di padu biru yang cocok dan kontras dengan kulitku. Membelah vertikal ke dadaku, gaunku yang mengembang dan panjang hingga terseret ke lantai dan aku terus berdansa, sesekali mengangkat gaunku. Aku tak takut jika harus terjatuh karena gaun itu. Aku hanya merasakan kebahagiaan yang sangat malam itu, bersama Lilly di sampingku. Sesekali kami bertatap muka dan tertawa bahagia. Malam yang sempurna.

Tidak sampai angin yang sangat kencang yang entah berasal dari mana melesat masuk ke opera. Dan menghempas seluruh pintu. Rambutku yang semula tersimpul rapi menjadi terurai dan berantakan. Aku menoleh ke sampingku memastikan bahwa Lilly baik-baik saja. Dan aku terkejut saat itu juga. "Lilly!" Pekikku. Lalu waktu terasa melambat. Dan aku terbenam dibawahnya. Lilly hilang.

Aku dapat mendengar teriakkan orang-orang di sekitarku dan seketika dinding opera berapi-api dan kegelapan mulai menyelimuti.

Samar-samar aku dapat melihat anak-anak sibuk mencari orang tua mereka. Dan begitu juga para orangtua. Tapi mereka tak menemukan yang mereka cari. Sama halnya denganku.
Lalu tiba-tiba saja gelap gulita. Api yang membakar dinding opera seketika padam dan aku masih mendengar teriakkan memilukan dari orang-orang. Hanya aku yang diam dan tak melakukan apa-apa. Aku masih sangat bingung. 'Ada apa ini? Dimana Lilly?' Aku masih diam. Pikiranku yang terus meracau.

Aku memegang kepalaku yang tiba-tiba sakit. Detak jantungku yang menyecepat. Aku jatuh terduduk dengan teralasi gaunku. Aku melemas. Ingin tidur tapi tak mungkin. 'Kita sedang berpesta.' Aku membatin. Mungkin ini bagian dari pertunjukkan. Aku berusaha menenangkan diriku sendiri. Aku berusaha bangkit lalu terjatuh lagi dan lagi.

Lalu tiba-tiba ruangan yang sangat luas ini terang benderang. Bukan, bukan karena kegelapan telah pergi. Melainkan kobaran api yang sangat-sangat besar membara di setiap kayu yang di jumpainya. Meski begitu, aku masih merasakan dingin yang menusuk tulangku. Aku berusaha memeluk diriku yang lelah dan dingin. Gigi ku gemertak tak karuan. Aku takut. Aku ingin pulang. Lilly, aku ingin pulang bersama mu. Kembalilah.

Lilly tiba-tiba di depanku dengan gaun yang sama denganku. Sobek dari kaki sampai ke pangkal paha. Aku menatap sobekkan itu. Namun aku tak sanggup bicara. Aku melemas. Lalu aku mengalihkan pandangan ku ke wajah Lilly yang sepucat bulan dan ada luka di bibirnya. Namun tetap tersenyum 'Kau sangat pucat.' Aku bertanya dalam hati. Berharap dia dapat mendengar suara hatiku. Dia memberi tangannya dan merangkul ku.
Aku menyandarkan kepalaku ke pundaknya dan tertidur.

Samar-samar terdengar suara pria yang agak serak. Aku membuka mataku perlahan dan memegangi tempat yang aku baringi. Sangat empuk, pikirku. Lalu menarik nafasku dalam-dalam. Menyesapi aroma yang begitu menenangkan. Aroma kayu manis. Untuk sementara waktu, aku dapat melupakan kejadian mengerikan semalam yang mungkin hanya mimpi.

Ruangan ini sangat luas. Terdapat tungku dengan api yang menenangkan di depanku dan lukisan kuno bergambar seseorang sedang menunggangi kuda dengan gagah. Lalu aku menoleh ke kiri. Ada meja dan terdapat teko besi, mungkin, serta cangkir yang cukup di atasnya. Dan langit-langit ruangan yang murni terbuat dari kayu yang dipahat rapih. Aku masih memegangi kain tebal yang menyelimuti tubuhku dan menatapnya.

Aku tersadar dari kekagumanku tentang ruangan kuno ini. Dan ruangan ini adalah sebuah kamar. Dan aku tertidur disini. Di ranjang yang sangat besar?
Di mana Lilly? Batinku memperingatikan. Lalu aku teringat. Suara itu. Suara pria itu. Suara yang membangunkan ku dari mimpi burukku. Aku mencari di mana sumber suara itu.
Pintu kamar tepat di sudut kiri ku terbuka dengan kuat. Seorang laki-laki dengan pakaian kuno yang tak bisa ku jelaskan masuk dan terkejut melihatku. Aku terkejut lebih darinya. Ia mendekatiku yang ketakutan setengah mati dan aku menyembunyikan ketakutanku. Berusaha terlihat lebih berani. "Kau sudah bangun? Apa yang terjadi" Ia bertanya padaku yang jelas-jelas sedang bingung ini. Dan ia bertanya apa yang terjadi? "Apa maksudmu. Siapa kau? Di mana aku? Di mana Lilly dan... apa yang kau lakukan pada ku. Bagaimana aku bisa sampai di sini?" Aku berbalik bertanya. Mengeluarkan semua emosi ku. Aku menangis. "Demi tuhan, di mana Lilly ku?" Aku menangis menjadi dan ia masih memegangiku lalu memelukku. Entah mengapa aku menerima begitu saja pelukannya. Ia begitu hangat hingga aku merasa bahwa aku lah yang memeluknya. Aku tak peduli. "Kau akan baik-baik saja. Percaya padaku. Kita akan menemukannya." Dia mengatakannya dengan begitu tenang hingga aku terhanyut dan membenamkan wajah ku di antara lehernya yang panjang dan kuat. "Mengapa semua orang mengatakan aku akan baik-baik saja?apakah aku akan tidak baik-baik saja. Demi tuhan aku tidak peduli. Di mana adikku." Aku masih menangis dan memeluknya. Ia melepaskan pelukkannya. Dan menatap mataku lekat-lekat, ada pantulan diriku yang sangat berantakan di sana. Matanya yang biru dan bulu matanya yang lentik menghentikan tangisku. Aku terhanyut dan tenggelam didalam matanya. Dia begitu tampan, jambang yang tipis dan bibir yang tidak terlalu tipis. Sempurna sekali. Di tambah pantulan cahaya remang di ruangan ini. Menambah kesempurnaannya. Ia mendekati wajahku sehingga aku dapat mendengar deru nafasnya yang teratur. Hidung kami hampir bersentuhan, Hingga aku mengira bahwa ia akan menciumku. "Kita akan melewati ini. Percayalah." Katanya. Lalu ia pergi begitu saja meninggalkanku sendiri yang kebingungan.

AWAKENWhere stories live. Discover now