7. Pilihan Yang Harus Dihadapi Setiap Kelompok

537 66 28
                                    

Aku tahu, ini keputusan berisiko. Menerima Mirtha memang menambah daftar kewaspadaanku, tetapi setidaknya dengan membuatnya berada di dekatku, kami tidak perlu lagi bermain kucing-kucingan seperti dua hari ini. Bila sedikit saja ada indikasi dia akan mengkhianatiku, aku akan membunuhnya.

Sebagai ujian pertama terhadap kepatuhannya, aku memintanya untuk tetap berada di dalam kamar untuk menjaga tasku, sedangkan aku pergi menemui Safero. Kali ini, aku tidak berpakaian seperti lelaki. Aku sengaja mengenakan satu-satunya setelan gaun yang tersimpan di dalam tas.

Berbeda dari pakaian lelaki yang lebih ringkas, gaun perempuan Athaliant terdiri beberapa jenis, yaitu gaun dalam, gaun luar, dan luaran. Sederhananya seperti itu, tetapi pada praktiknya, kaum perempuan Athaliant bisa mengenakan sampai enam lapis gaun untuk kegiatan sehari-hari. Tentu saja gaun-gaun tersebut diatur sedemikian rupa sehingga tidak terlihat seperti kain yang ditumpuk di tubuh seseorang, dan biasanya ini dilakukan oleh kaum perempuan dari keluarga kaya.

Bagi perempuan dari golongan menengah ke bawah, biasanya mengenakan tiga lapis gaun sudah cukup. Lagi pula, mereka mengganggap tidak ada manfaatnya mengenakan lapisan gaun terlalu banyak untuk beraktivitas sehari-hari.

Aku iri pada kaum lelaki. Mereka lebih praktis dalam berpenampilan. Jika rambut sudah panjang, tinggal diikat atau dipotong saja. Sementara kaum perempuan terkadang memiliki aturan-aturan tertentu. Untuk seorang gadis, tatanan rambutnya lebih bebas––bisa digerai, dikepang, ataupun dikuncir lalu dihiasi dengan pita atau jepit rambut. Namun, untuk perempuan yang sudah menikah, biasanya rambutnya digelung lalu dihiasi jepit atau tusuk rambut.

Mengingat rambutku sudah dipotong pendek, aku kesulitan menggelungnya. Beberapa anak rambut selalu saja keluar dari gelungan, hingga akhirnya aku membiarkannya, lantas menghiasnya dengan tusuk rambut. Saat keluar dari balik penyekat, aku sempat melihat Mirtha terpana, sebelum akhirnya mengalihkan pandangan dengan sopan.

"Aku akan pergi sebentar," ujarku sambil menyelipkan kantong uang ke dalam sabuk kain. "Jaga barang-barangku."

"Ya." Mirtha menjawab pelan tanpa memandangku.

"Tetaplah di sini dan jangan pergi ke mana pun." Aku memberinya sedikit peringatan sebelum keluar kamar.

Hari sudah sore ketika aku keluar dari penginapan. Aku yakin, Safero pasti mengkhawatirkanku karena tidak menemukanku di tempat perjanjian kami. Sekali lagi, kubeli beberapa batang tarathia biru di salah satu toko bunga yang kulewati.

Ini untung-untungan. Aku akan mengecek dulu ke Pasar Amurega, melihat apakah Safero masih menunggu di sana atau tidak. Bila dia tidak ada, aku akan langsung ke rumah majikannya nanti. Sambil memastikan belatiku tersembunyi di balik jubah, aku melangkah tanpa ragu menuju pasar Amurega.

Berkali-kali, aku berdoa dalam hati supaya tidak bertemu pengacau-pengacau yang ingin menjualku sebagai budak. Aku juga tidak ingin bertemu dengan petugas keamanan yang mengejarku tadi. Seperti mendengar harapanku, Penguasa Semesta justru mempertemukanku dengan Safero di halaman Pasar Amurega.

Ekspresi wajah pemuda itu sudah tidak keruan, campuran antara khawatir, marah, dan was-was. Saat melihatku, raut wajahnya berubah menjadi lega, kemudian marah. Aku akan menghadapi kemarahannya, tetapi itu nanti.

"Pertemukan aku dengan kaverush. Segera," pintaku.

***

"Pedagang-pedagang budak di sini memang keterlaluan." Safero mendesah pelan setelah mendengar alasan keterlambatanku, tentu saja minus tentang Mirtha maupun anggota kaverush yang tadi. Bila Safero tahu aku bersama pria asing, tak bisa dibayangkan seperti apa kemarahannya nanti. "Mereka tidak peduli siapa yang diculik dan tidak pandang bulu dalam menculik target-targetnya. Kebanyakan yang disasar memang pengembara sepertimu, tetapi pernah ada kejadian pula, anak pedagang Idler diculik dan hartanya dijarah."

The Golden AnshokWhere stories live. Discover now