5. Menolong Hanya Untuk Bertemu Penolong

575 70 19
                                    

Demi keamanan, aku terpaksa mencari rute memutar untuk mencapai rumah yang ditempati salah satu orangku di Amurega. Sialnya, aku tidak bertemu dengannya karena dia sedang pergi keluar bersama majikannya. Akhirnya, kutitipkan tarathia biru itu pada seorang pelayan, sekaligus dengan sebaris pesan untuk disampaikan kepadanya.

Sejujurnya, aku berbohong pada gadis penjual bunga tadi. Aku membeli tarathia bukan untuk dipersembahkan pada Penguasa Semesta, melainkan untuk diberikan pada salah satu anggota inaftri. Terdengar romantis, kan? Namun, karena yang kuberi adalah laki-laki, kesan romantis itu jadi terlihat lucu.

Mengirim bunga adalah caraku berkomunikasi dengan kelompokku. Tiap-tiap orang di antara kami memilih jenis bunga yang berbeda. Bungaku adalah tarathia. Tarathia apa pun, entah itu merah, biru, oranye, atau hijau. Namun, biru adalah tanda kehadiranku di sini, sedangkan warna lainnya memiliki arti yang berbeda. Aku sengaja memilih tarathia, karena bunga tersebut erat kaitannya dengan kota kelahiranku—Damzel, sebuah kota pelabuhan yang berada di ujung selatan Seltheriye.

Di Damzel, Tarathia biru dibudidayakan dan menjadi salah satu bunga wajib yang dibawa ke Mosan—rumah ibadah bagi penganut kepercayaan Penguasa Semesta. Mahkota bunganya yang berwarna biru mirip seperti warna langit dan laut, yang melambangkan keluasan dan kekayaan. Aromanya yang baru keluar saat akan layu, mengingatkan pada nama harum atau kejayaan di masa depan. Orang-orang Damzel percaya, bahwa bunga ini akan membawa kemakmuran, kekayaan, dan kejayaan, sehingga sering menggunakannya dalam acara-acara penting seperti pernikahan, festival, upacara keagamaan, atau pun saat ulang tahun kerajaan.

Usai meninggalkan pesan, aku pergi menuju Pasar Amurega yang berada di bagian timur kota. Tidak jauh berbeda dari kawasan pusat kota, kesibukan di sekitar bangunan berbentuk kotak persegi tanpa sentuhan rasa seni itu pun sangat padat. Tidak seperti pasar di kota-kota kecil yang hanya berupa tenda-tenda atau meja-meja yang dipayungi terpal, Pasar Amurega semegah pasar-pasar di kota besar.

Sambil menunggu kedatangannya, aku duduk-duduk di sudut halaman pasar yang dipayungi pohon peneduh. Halaman Pasar Amurega terbuka, tanpa dinding-dinding yang membatasi area pasar dengan jalan utama kota, sehingga aku bisa melihat kesibukan di kedua tempat sekaligus.

Kereta-kereta barang lewat silih berganti. Orang-orang begitu sibuk dan tampak tergesa-gesa menyelesaikan urusan mereka. Budak-budak berpakaian compang-camping tengah mengangkuti barang-barang menuju kereta-kereta majikan mereka. Aku merasa kasihan saat melihat seorang bocah yang kemungkinan berusia sepuluh tahunan, tengah kerepotan membawa karung yang besarnya melebihi tubuhnya.

"Katanya, pemilik toko bunga ingin menemuiku. Di mana dia?" Pertanyaan itu mengalihkan perhatianku.

Seorang pemuda ramping berjalan menyambangiku. Pakaiannya sama lusuhnya dengan pakaianku, tetapi warnanya tidak sepudar luaranku. Dia mengenakan kemeja lengan pendek berwarna putih yang dipadukan dengan rompi kain berkancing serta celana panjang gelap yang warnanya sulit dibedakan antara biru atau hitam.

"Tentu saja di tokonya. Kenapa dia harus di sini?"

"Karena dia mengirimiku tarathia biru." Pemuda berambut hitam gelap itu duduk di sampingku. Anak-anak rambutnya terlihat lebih panjang dari saat terakhir aku menemuinya dan dia mengikatnya dengan tali supaya terlihat rapi.

"Tarathia? Kau yakin bukan lonceng biru?" Aku balik bertanya.

Safero menghela napas. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya tanpa basa-basi. "Dari Meluha, aku mendengarmu pergi ke Bariye––provinsi Barat. Aku tidak tahu kalau kau justru ke Iteriye."

"Mengecoh kawan untuk mengecoh musuh," jawabku ringan. "Dan kuharap kau tidak membocorkan kunjunganku ini kepada siapa pun."

Dia menatapku lama sebelum berkomentar. "Kau tidak percaya kepada mereka?"

The Golden AnshokWhere stories live. Discover now